Pesona Bukit Kelam

Bukit kelam merupakan satu destinasi wisata terkenal di Kabupaten Sintang.

Suku Bangsa Dayak Uud (Uut) Danum

Suku bangsa Dayak Uud (Uut) Danum merupakan subsuku penduduk asli pulau Kalimantan.

The Phenomenon of Kempunan Lessons

The Dayak worldview, the indigenous people of Borneo/Kalimantan Island, can be likened to the worldview of the ancient Greeks before the coming of philosophers which was greatly mythological in its nature..

Asal Usul Cihie (Sihiai)

Menelusuri asal Cihie sebagai subsuku Dayak Uud (Uut) Danum.

Kosanak Kolop Doro' Bohuang

Kisah mengenai pelajaran dan nasihat hidup.

New Life, New Adventure

Pernikahan Sutimbang dan Santi.

Label:

Pesona Bukit Kelam



https://dreamindonesia.files.wordpress.com

Bicara mengenai pariwisata di Sintang, pikiran kita pasti langsung tertuju pada Bukit Kelam. Ya, Bukit Kelam memang merupakan tujuan pariwisata primadona bagi masyarakat di kabupaten Sintang dan sekitarnya. Memang Bukit Kelam sangat menarik untuk dinikmati oleh siapa saja yang ingin menenangkan pikiran yang sudah suntuk dengan pekerjaan selama sepakan atau hanya sekadar menikmati suasana alam yang tenang dan hijau.

Lokasi Taman Wisata Alam Bukit Kelam terletak di Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.

Kabupaten Sintang berjarak sekitar 395 kilometer di sebelah timur Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Sekarang bisa juga melalui jalan Tayan yang jarak tempuhnya lebih dekat. Dari Pontianak menuju Sintang, pengunjung dapat naik pesawat, taksi, bus travel, angkutan umum, atau kendaraan pribadi.

Dari pusat Kota Sintang, Taman Wisata Alam Bukit Kelam berjarak sekitar 19 kilometer ke arah timur. Jalan menuju kawasan ini telah beraspal mulus dan dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, sehingga pengunjung mudah mengaksesnya dengan menggunakan bus atau kendaraan pribadi dengan waktu tempuh sekitar 30-35 menit.

Bukit Kelam ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 594/Kpts-II/92 pada tanggal 6 Juni 1992, Dari lahan seluas 520 hektar lebih tersebut, kita bisa menemukan keunikan, keeksotisan, dan kekayaan hayati dari pesona alam kalimantan.

Saya punya kisah tersendiri tentang Bukit Kelam ini. Dulu ketika masih SMA, kami anak-anak seminari Sintang melakukan darmawisata ke Bukit Kelam. Ini agak unik karena perjalanan ke sana tidak menggunakan kendaraan, tetapi dengan jalan kaki. Saya awalnya terkejut dengan ide gila ini. Jalan kaki dari Sintang ke Kelam itu pekerjaan konyol menurut saya. Ini perjalanan jauh! Untuk menyenangkan hati, saya menganggap ini tantangan. Kira-kira 2 jam lebih perjalanan saya dan teman-teman sampai di lereng bukit Kelam. 

Belum lama beristirahat teman-teman langsung mengajak saya untuk mendaki ke puncak Bukit Kelam. Merasa penasaran dan tertantang, saya ikut saja. Ini pengalaman pertama saya mendaki bukit kelam. Rasa pegal dan capek karena perjalanan jauh saya lawan hanya karena rasa penasaran ingin melihat Sintang dari puncak Bukit Kelam. Pendakian ke puncak bukitnya, dapat melewati sebuah tangga batu yang memiliki ketinggian sekitar 90 meter yang terletak di sebelah barat Bukit Kelam. Bagi yang bernyali besar dan menyukai tantangan ekstrem, dapat mencapai puncaknya dengan melewati tebing batu yang terjal.

Sampai di puncak bukit, kita langsung bertemu dengan posko penjagaan sarang burung walet. Posko ini bila tampak dari lereng bukit. Di bawah posko itu terdapat gua-gua alam yang di dalamnya banyak terdapat burung walet. Asal tahu aja, pemandangan dari puncak bukit ini sangat indah. Terlihat hutan tropis yang lebat dan hijau di sekitarnya, Sungai Kapuas dan Sungai Melawi yang mengapit Kota Sintang, keindahan Kota Sintang dari kejauhan, dan areal persawahan yang menghampar luas di bawahnya.

Sebagai informasi ketinggian bukit Kelam ini berkisar antara 50-900 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan kemiringan antara 15°-40°. Saya sebagai pemula dan amatiran, pmendaki bukit setinggi itu memang memerlukan tenaga lebih.

Sebenarnya tidak jauh dari bukit ini terdapat Rumah Panjang (rumah tradisional suku Dayak) Ensaid Pendek dan Ensaid Panjang yang memiliki arsitektur khas. Juga terlihat dari puncak bukit.

Puas di atas, saya dan teman-teman lupa hari sudah sore. Kami pun segera turun. Perjalanan turun bukit ini agak berat karena kaki saya kram dan susah digerakkan. Sampai di bawah saya sudah nyerah, kram sudah tak mampu ditahan. Derita itu bertambah karena kami ternyata sudah ditinggal bis yang mengantar kami pulang. Ini perjalanan pertama dan terakhir saya berjalan kaki dari Sintang ke Kelam. 

Bukit Kelam selalu dikaitkan dengan legenda Bujang Beji dan Tumenggung Marubai. Oleh masyarakat di sekitar bukit, cerita ini selalu dijaga. Berikut ini merupakan cerita singkat tentang Legenda Bujang Beji dan Tumenggun Marubai.

Bujang Beji dan Tumenggung Marubai merupakan kepala kelompok para penangkap ikan di Negeri Sintang (ibu kota Kabupaten Sintang sekarang). Bujang Beji beserta kelompoknya menguasai Sungai Kapuas, sedangkan Tumenggung Marubai beserta kelompoknya menguasai Sungai Melawi.

Karena perbedaan hasil tangkapan ikan, muncul niat jahat Bujang Beji untuk menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar. Lalu, ia pergi ke Kapuas Hulu untuk mengangkat batu besar yang terdapat di puncak Bukit Nanga Silat dan membawanya ke Sungai Melawi. Namun, di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Melawi, dewi-dewi dari khayangan menertawakannya beramai-ramai. Tatkala mendongakkan kepala mencari asal suara, tanpa disadarinya, ia menginjak duri beracun. Seketika itu juga, batu yang dipikulnya terlepas dan kemudian terbenam di suatu tempat bernama Jetak.

Menurut legendanya, batu besar yang terbenam di Jetak itu kemudian tumbuh perlahan-lahan menjadi sebuah bukit. Dewasa ini, bukit tersebut dikenal dengan Bukit Kelam, sebuah obyek wisata unik dan eksotik yang sangat dikagumi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Dinamakan Bukit Kelam karena batu-batu yang terdapat di bukit tersebut berwarna hitam.

Panorama alamnya yang indah dan alami, serta udaranya yang sejuk dan segar, menjadikan kawasaan ini tepat sekali dipilih sebagai tujuan rekreasi alam. Tidak hanya sebagai tujuan rekreasi alam. Bukit Kelam juga sebagai tempat rekreasi rohani bagi umat Katolik karena tidak jauh dari bukit telah dibangun wisata rohani yang memiliki gua Maria dan wisata jalan salib.

Di kawasan Bukit Kelam terdapat berbagai flora dan fauna langka yang terus dijaga. Floranya meliputi meranti (shorea sp), bangeris (koompassia sp), tengkawang (dipterocarpus sp), kebas-kebas (podocarpusceae), anggrek (archidaceae), dan kantong semar raksasa. Fauna langkanya, seperti beruang madu (heralctus mayalanus), trenggiling (manis javanica), kelelawar (hiropteraphilie), dan alap-alap (acciptiter badios), menambah daya tarik kawasan ini.

Sudah lama saya tidak pernah berwisata alam ke Bukit Kelam. Mungkin sudah banyak perubahan yang dilakukan oleh pemda Sintang untuk mempercantik Taman Wisata Alam Bukit Kelam ini agar makin banyak pengunjung yang mau datang berwisata ke Bukit Kelam. Bukit Kelam yang merupakan simbol kota Sintang memang harus dikelola dengan baik dan benar. Saya berharap suatu saat nanti bisa kembali berwisata alam dan rohani ke Bukit Kelam, tapi tidak dengan berjalan kaki...hehehe



1 komentar
Label: ,

Gereja yang Mendunia

Frater Rambang Ngawan, O.P.

 Refleksi Filsafat dan Teologi Tentang Peran Gereja di Tengah Konflik

“…Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini akan kudirikan jemaat-Ku” (Matius 16:18)


Artikel ini  mencoba utuk mengkaji peran Gereja dalam membantu penyelesian masalah yang saat ini sedang terjadi di Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang yakni tentang reaksi masyarakat  terhadap keberadaan perusaahaan sawit yang dinilai merugikan hak-hak kepemilikan tanah masyarakat setempat dan menganggu keseimbangan hidup masyarakat secara holistik.

Apa dan Siapa Itu Gereja?

Menurut katekismus Gereja Katholik, “adalah tugas Sang Putera untuk memenuhi rencana keselamatan dari Bapa pada kegenapan waktu. Pemenuahan tersebutlah yang menjadi alasan mengapa Yesus dikirim ke dunia. Tuhan Yesus mendirikan Gereja-Nya melalui pewartaan Kabar Gembira, yaitu kedatangan Kerajaan Alllah, seperti yang dijanjikan berabad-abad yang lalu di kitab suci. Untuk memenuhi kehendak Bapa tersebut, Kristus menunjukan jalan kerajaan surga di dunia. Gereja adalah “Kerajaan Kristus yang sudah hadir di dalam misteri.”

Lebih lanjut lagi siapakah Gereja itu? Gereja bukan hanyalah sebuah bangunan tempat beribadah, tetapi lebih dari itu adalah manusia yang menjalankan ibadat di dalamnya. Ini bukan berarti bahwa Gereja hanyalah umat katholik saja. Tetapi seperti yang dijelaskan di katekismus Gereja Katholik bahwa “semua orang dipanggil kedalam persatuan katholik umat Allah… Dan untuk itu, dalam cara-cara yang berbeda, termasuk atau terurut: umat Katholik, umat lain yang percaya kepada Kristus, dan terakhir adalah seluruh umat manusia, dipangggil melalui rahmat Allah menuju keselamatan.”

Gereja yang Mendunia

Sejak dari awal, Gereja sudah menunjukan perannya yang penting di dunia. Ini bisa kita lihat dari peran kepala Gereja, Yesus, di dalam misteri keselamatan manusia. Misteri Inkarnasi, Sabda menjadi daging, hendak mengajarkan kita betapa besar cinta Allah bagi dunia, betapa mulianya badan manusia. Kelahiran, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus yang semuanya menampilkan unsur badaniah menunjukkan bahwa tubuh menjadi insrumen penting dalam sejarah keselamatan. Tanpa tubuh yang nyata penyaliban Yesus yang membawa keselamatan tidak mungkin akan terjadi. Dari sisi teologis ini kita bisa melihat bahwa Gereja sejak dari awal punya peran penting di dunia. Dunia hendaknya tidak dipandang sebagai ‘musuh’ melainkan ladang pelayanan kepada umat Allah. Kalimat penciptaan yang berseru ‘semuanya baik adanya’ menyadarkan kita bahwa dunia adalah karya agung dimana Allah sendiri menyatakan kasihnya.

“Jika Engkau Mau, Jadilah Aku Sembuh”

Mungkin kita masih ingat kisah kitab suci tentang seorang berpenyakit kusta yang meminta Yesus untuk menyembuhkan penyakitnya. “Jika engkau mau, jadilah aku sembuh,” begitulah tepatnya permintaan penderita kusta tersebut kepada Yesus. Kita bisa mengartikan bahwa yang dimaksud penderita kusta ini adalah kesembuhan bisa terjadi hanya lewat ‘kemauan atau kehendak’ Yesus saja, tanpa harus melalui kontak fisik. Kemauan merupakan salah satu ungkapan iman; tak tampak dan abstrak. Namun apa yang Yesus kemudian lakukan? Tergerak oleh belaskasihan, Ia mengulurkan tangan-Nya, menyentuh penderita kusta tersebut, dan berkata kepadanya, “Aku mau. Jadilah sembuh.”   

Tindakan Yesus ini melambangkan misi Gereja. Mungkin beberapa orang bertanya, “mengapa Gereja harus ikut campur dengan permasalahan sawit di Serawai ini?” Alasan filsafat dan teologisnya bisa kita dapatkan cari kisah injil di atas. Yesus menyembuhkan penderita kusta itu bukan hanya lewat kehendaknya saja, tetapi penyembuhan terjadi lewat kontak fisik antara Yesus dan penderita kusta itu. Apabila kita melihat siapa itu manusia, ia adalah makhluk rasional yang memiliki jiwa dan badan sebagai pembentuk hidupnya yang mendasar. Karena itu, tugas Gereja bukan hanya menyangkut kehidupan rohani dan spiritualitas umatnya saja. Sisi badaniah umatnya juga menjadi sorotan penting bagi pelayanan Gereja. Gereja tidak mungkin hanya menyoroti perkembangan spiritualitas umatnya tanpa memperdulikan sisi badaniah mereka. Jiwa dan raga adalah satu dan pelayanan Gereja kepada umatnya mencakup juga dua aspek ini. Oleh sebab itu, sudah menjadi tugas Gereja untuk membantu perkembangan rohaniah dan badaniah umatnya secara keseluruhan, termasuk juga menjaga hak-hak hidup umatnya apabila terancam dan sebagainya.

Gereja: Hati Nurani Umat

Gereja mengajarkan bahwa hati nurani memainkan peran yang penting dalam kehidupan moral setiap manusia. Santo Bonaventura mengatakan bahwa hati nurani itu adalah percikan jiwa. Dan secara umum kita menganggap hati nurani sebagai suara Allah yang berbisik di hati kita. Dihadapkan dengan permasalahan sawit ini, warga Serawai terpecah menjadi beberapa kelompok. Satu keompok menerima kehadiran perkebunan sawit dan sudi menyerahkan lahan mereka. Satu kelompok lagi menolak kehadiran perkebunan sawit ini secara mentah-mentah karena dinilai merugikan masyarakat dan ekosistem di Serawai. Dan satu kelompok lagi berada di tengah, menutup mata terhadap kenyataan yang sedang terjadi. Pada saat seperti ini hati nurani umat sedang goncang, bingung harus melakukan apa. Inilah saatnya Gereja berperan sebagai hati nurani umat. Gereja akan memikirkan hal yang terbaik yang umat harus lakukan. Gereja membantu umat untuk melihat kenyataan yang sedang terjadi, menelaah permasalahan dengan seksama dan pada akhirnya membantu umat untuk membuat keputusan yang tepat. Di dalam perjalanan berikutnya Gereja akan bergerak bersama umat untuk memperjuangkan hak-hak umat. Peran Gereja dalam memperjuangkan hak-hak umat yang perlahan direngut oleh perusahaan sawit adalah bukti bahwa Gereja menempatkan dirinya sebagai hati nurani umat.


Gereja: Terang yang Menyilaukan

Sudah menjadi konsekwensi apabila Gereja, beberapa lembaga kemasyarakatan dan umatnya mendapat perlawanan didalam usaha menolak perkebunan sawit. Hal ini juga terjadi di zaman Yesus. Beberapa kelompok membenci Yesus yang mewartakan kepada mereka tentang kebenaran. Yesus adalah terang yang sinarnya menyilaukan mata orang-orang yang terbiasa hidup dalam kegelapan. Orang-orang ini membenci Yesus karena mereka takut bilamana nantinya kelemahan-kelemahan mereka akan tampak karena Sang Terang ada di tengah-tengah mereka.


Hal yang sama mungkin sedang terjadi pada oknum-oknum yang mencoba menghentikan perjuangan Gereja dan umatnya. Mereka takut pada terang dan kebenaran yang Gereja bawa bersama umatnya. Mereka mencoba untuk memadamkan terang itu. Namun terang ini akan semakin bersinar apabila ada yang mencoba untuk memadamkannya.


Berjuang dengan Iman dan Cinta

Berjuang dan jangan pernah berhenti. Jadikanlah iman dan cinta sebagai senjata yang mampu mengalahkan segalanya. Berjuanglah bersama, dengan iman dan cinta. Kita pasti menang. Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa iman dan cinta akan meruntuhkan segala benteng yang mencoba menghalang jalan kita menuju kebenaran. Dan dalam sejarahnya pula Gereja akan terus ambil bagian dalam perjuangan umat untuk kehidupan yang lebih baik. Beberapa contoh mungkin bisa menjadi inspirasi untuk kita semua.  Di Filipina pada masa pemerintahan rezim Ferdinad Marcos, Kardinal Jaime Sin Uskup Agung Manila bersama kelompok yang lain menggerakkann massa untuk mengajukan pemberhentian President Marcos. Peristiwa ini dikenal sebagai People Power (1983-1986) yang tercatat di sejarah dunia sebagai demonstrasi massal yang berlangsung dengan aman dan damai. Di Lima, Peru, Latin Amerika, seorang imam Dominikan Romo Gustavo Gutierrez, OP terkenal lewat Teologi Pembebasannya yang membela hak-hak kaum miskin yang dirugikan oleh struktur sosial yang tidak adil. Dan di Serawai saat ini, perjuangan yang sama sedang terjadi. Mari kita tunjukkan iman dan cinta yang dinyatakan lewat tindakan. Sebelum semuanya terlambat.


Sumber:
                                                                                               
Definitive Edition “Catechism of the Catholic Church”, CBCP/ECCCE, Word and Life Publication, Manila

Markus 1:40-45
Matius 16:18

               


4 komentar
Label: , ,

"Still Riding the Wind"

Bro. Rambang Ngawan, O.P.
Upon reading this book entitled Still Riding the Wind authorized by Fr. George T. Montague, S.M., my interest of knowing more about the Holy Spirit was brought to its surface. I was injected also with some doctrinal ideas which suit to my needs as a Christian Person. This book consists of seven chapters which depict personal experiences of the author and fresh insights regarding the role of the Holy Spirit. Each chapter of this book would try to awaken the readers on how our lives as being Christians have a significant meaning with the way we perceive the work of the Holy Spirit.

Chapter one of this book narrates stories of the author on how he spiritually encountered the Spirit of God through such a spiritual healing. He shared also his story about the gift of tongue he first received in a convent of the Sisters of Divine Providence in Castroville while joining the prayer meeting held by the sisters. Through witnessing some powerful inner and outer healings, the author could assure also that he experienced the same healing in himself.

As I went over the next pages of this book, from chapter two up to chapter six, Fr. George would try to offer some of his personal reflections on the life of the Spirit. Chapter one would emphasize more on the clear explanation of the correlation amongst three dimensions of human beings, namely body, soul and spirit. The author gives a down-to-earth explanation of each dimension of human beings which all of them are inseparable. As I may humbly quote one line which strikes me sounding that to be truly human, then, and truly alive, I must accept myself as body, soul, and spirit.         

Chapter three which is entitled The Language of the Christian would offer three dimensional languages, namely body language, soul language, and spirit language. We can see the tight correlation of these three as it is written that to learn to speak the language of the spirit not to despise the language the languages of the mind or the body but to make them most meaningful. The word, through the Spirit, becomes the prophecy. And the body, through the Spirit, becomes the bridge of encounter that is completely human and completely Christian. Chapter four talks about the Spirit and the Word wherein the author said that the Spirit would reach its fullest meaning if it is spoken out in form of words. Chapters five and six would tell us how we could tackle some unpleasant and chaotic moments in our daily lives by means of prayer, witness, service, healing in order to acquire a fruitful growth of the Spirit granted by God. This growth in Spirit must align us to holiness in wholeness, meaning to say that we are sanctified wholly; our body, soul and spirit.

Eventually, chapter seven is about Mary and Learning the Ways of the Spirit. From Mother Mary we can learn two basic aspects of the Christian life: faith in the Lord’s word and docility to the Holy Spirit. From the author we can know the reflection on Mary; the experience of Mary, then, is one of the most precious gifts of the Spirit. She is the charism of the Spirit in person. From her I learn to believe more purely, to discern the Spirit more clearly, to listen to the word more intently, and to wait more creatively the hour of the Lord’s coming.

I learn from this book that the Holy Spirit is truly a gift from God and I must have a Marian faith to posses the Spirit of God. Many times I realize, because of my unworthiness, I need to live my life more faithfully in front of God to acquire this Spirit. However, it is through the grace of God I can be a humble witness who learns the ways of the Spirit wholly. And eventually, with all my lacks, I submit my life to Him, to form me, and to help me function the so-called three dimensions of my human person; body, soul and spirit, so that I may be able to obtain a holiness in wholeness. The Spirit of God makes this true.     

0 komentar
Label: , ,

Siapa yang Kita Kalahkan?



Kita lahir sebagai seorang PEMENANG. Saya kira, kalimat ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kalaupun ada yang baru mendengarnya atau membacanya, saya ucapkan selamat! Saya yang pertamakali menyampaikannya kepada Anda. Kalimat ini cukup sering menyihir orang-orang yang membacanya, atau juga mendengarnya. Mengapa demikian? Karena sejak sediakalanya substansi terkecil untuk membentuk manusia (sperma) itu berkompetisi. Dalam proses pembuahan, ada jutaan sperma yang berlomba untuk membuahi satu ovum. Namun hanya satu yang “berhasil” masuk dan menjadi bakal embrio manusia. Wajarlah jika sejak lahir, manusia memiliki kecenderungan untuk berkompetisi dan menjadi pemenang.

Hal ini dipertegas lagi dengan kenyataan bahwa sejak masih playgroup hingga kuliah, manusia sudah dijejali pandangan bahwa yang juara 1 dalam belajar adalah yang terbaik. Benarkah demikian? Sebenarnya, siapa atau apa yang kita kalahkan? Tentang hal ini, saya ingin berbagi sedikit pengalaman saya dalam “berkompetisi”.

Saya berasal dari sebuah keluarga yang sederhana. Bapak, Mamak, Bang Timbang, Rambang, saya, dan Yeni. Waktu kecil dulu, saya tidak pernah mendapat pendidikan untuk berkompetisi dalam keluarga. Bapak dan mamak selalu meminta kami untuk memberikan yang terbaik yang kami bisa. Saya punya 2 saudara dan 1 saudari. Setiap kami memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bang Timbang dengan bakat basket, musik, dan kepemimpinannya. Rambang dengan kecerdasan dan kedisiplinannya. Yeni dengan bakat seninya. Well, kami tidak ambil pusing dengan itu semua. Yang penting, orangtua meminta kami untuk selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan titipkan buat kami. Maka, jadilah kami seperti ini.

Saya mulai mengenal (dan menyadari) adanya kompetisi itu sejak SD. Maka, berlomba-lombalah saya dan teman sekelas untuk mendapatkan rangking 1 di kelas. Siapa yang saya “kalahkan”? Ya, teman-teman sekelas. Demikian seterusnya hingga saya SMA. Saya kira, hampir semua dari kita pasti mengalami hal yang sama, bahwa sekolah itu tempat berkompetisi. Bukankah pendidikan kita sudah dkondisikan seperti itu?

Semua pandangan saya tentang kompetisi ini berubah total semenjak saya lulus SMA. Ada yang terlupakan semenjak saya dan kawan-kawan menyibukkan diri dengan segala macam kompetisi ini. Ada yang terlewatkan dari semangat untuk saling “mengalahkan” ini. Saya tersadar bahwa pada akhirnya yang saya kalahkan adalah diri saya sendiri. Semua macam kompetisi kita akan berujung pada PENAKLUKAN DIRI! Ketika beranjak dewasa, manusia akan melihat kecenderungan manusiawi di dalam dirinya sebagai lawan yang nyaris tak terkalahkan. Kecenderungan ini terlalu perkasa. Melawan segenap kecenderungan ini, kita sering menangis dan menyerah ketika kalah. Bahkan, Tuhan sendiri pernah mengingatkan kita akan beratnya penaklukan diri ini: “Roh memang penurut, tetapi daging lemah!” (lih. Mat 26: 41).

Saya menyadari bahwa seorang pemenang adalah orang yang mampu mengalahkan kecenderungan manusiawi di dalam dirinya. Ia bisa menang melawan kemalasan, ketidaktenangan, kegelisahan, ketakutan, dan lainnya. Ketika hatinya teguh pada satu tujuan yang mulia, manusia dapat menyingkirkan satu per satu kecenderungan mausiawi itu. Saya mengalami bahwa hal ini tidak mudah. Kita bisa saja jatuh pada lembah kebingungan tentang siapa yang kita lawan. Saya pun akan masih terus bergelut dengan hal ini, sembari saya terus berziarah untuk mencari hidup yang sejati. Maka, ketika kita merasa sendiri dalam berjuang mengalahkan diri sendiri, ingatlah bahwa ada jutaan manusia yang juga sedang berjuang bersama kita. Sekali lagi, kita lahir sebagai seorang PEMENANG! Pemenang atas diri kita sendiri!

0 komentar
Label: , ,

Kawan, Lihatlah Bebanmu Menjadi Ringan




Fr. Rambang Ngawan, OP
Sore itu seorang kawan mengeluh kepadaku, "beban hidup ini terasa semakin berat. Tugas dari dosen semakin menumpuk, sedangkan daya tubuhku tidak mampu menyelesaikan semuanya. Aku belum pulih dari sakitku." Dan aku berusaha menenangkan dia mencoba memahaminya, kataku," Ya aku mengerti, memang seperti itu pada awalnya. Mengenai sakitmu, ada baiknya jika kamu berdevosi kepada Bunda Maria atau berdoa Rosario secara rutin demi kesehatanmu. Konsultasi juga ke dokter secara rutin." "Ya. Akan aku coba", jawabnya kepadaku."Namun yang kurasa selama ini aku semakin jauh dari Tuhan. Aku lelah." keluhnya lagi. Aku terdiam. Menghela nafasku. Iba hatiku mendengarnya. Dia masih muda dan banyak mimpi di benaknya. Aku tersadar dan kulanjutkan kata-kataku,"Hey kawan jangan bersedih. Sesungguhnya Tuhan semakin dekat mendekapmu. Rasakan dan percayalah. Kau tak lagi sendiri." Setidaknya itulah kata-kata yang bisa ku ingat dari percakapan kami.

Esoknya, di ruang belajarku, aku mulai mengambil pen dan secarik kertas. Aku ingin bercerita tentang hari kemarin lewat sebuah puisi yang sederhana.

Untukmu...

Kawan

Jika suatu hari kamu merasa
ingin menangis, panggil aku!
aku tidak berjanji bahwa aku akan
membuatmu tertawa tetapi aku dapat
menangis bersamamu.

Jika suatu hari kamu ingin lari menjauh,
jangan takut untuk memanggil aku!
Aku berjanji tidak akan memintamu
berhenti tetapi aku akan
berlari denganmu.

Jika suatu hari kamu tidak mau
mendengarkan seorangpun, panggil aku!
aku berjanji akan hadir bersamamu dan
akupun akan diam.
Aku mengasihimu,
jangan lupakan itu!
Di dalam waktu indah maupun buruk, aku
akan selalu bersamamu...

Dan kawan...lihatlah bebanmu menjadi ringan.
Tuhan berbisik kepadaku dalam doaku.
"Aku menggendong temanmu. Mengobati luka-lukanya.
Ia baru saja jatuh, dan lukanya pasti sembuh segera.
Katakan padanya...betapa Aku mencintai dia."

0 komentar
Label: ,

Bahagia Itu Sederhana



Saya sering mendengar orang-orang bicara, saya bahagia kalau saya punya banyak uang, mobil mewah, dan isteri cantik. Ada juga yang mengatakan, saya bahagia bila saya bisa keliling dunia dengan gratis. Adalagi yang mengatakan, saya bahagia bila berada didekat kekasih saya. Ada begitu banyak ungkapan kebahagiaan.

Ada juga yang mengeluh karena merasa tidak bahagia. Merasa tidak bahagia karena sering sakit-sakitan. Ada lagi yang merasa tidak bahagia karena sering bertengkar dengan pasangan. Ada juga yang tidak bahagia karena tidak kaya. Merasa jelek. Bahkan ada yang merasa tidak bahagia karena merasa kesepian meskipun punya banyak uang, rumah megah, mobil mewah, serta isteri cantik. Terlebih merasa tidak bahagia karena kurang CINTA.

Ada juga kebahagiaan yang salah kaprah. Mereka mencari kebahagiaan pada Narkoba dan alkohol. Ada yang bahagia bila dibelikan orang tua handphone mahal atau sepeda motor. Serta banyak lagi.

Sebenarnya apa sih takaran kebahagiaan? Apakah materi? Jabatan? Atau menjadi terkenal? Dalam kehidupan hedonis seperti saat ini, mungkin jawabannya iya. Itulah takaran kebahagiaan. Lantas bagaimana dengan mereka yang tak punya cukup uang?

Sebenarnya kebahagiaan itu sangat sederhana. Tidak perlu harus punya banyak materi, punya jabatan, atau menjadi terkenal. Bahagia itu kita yang buat, bukan dicari.

Bahagia itu tidak perlu mahal. Orang yang bahagia itu seperti seorang petani yang duduk di pondok merokok sambil minum kopi, lalu sebentar-sebentar dia melihat kearah padinya yang mulai menguning. Seperti seorang guru yang tersenyum melihat nilai muridnya yang tinggi tanpa menyontek.  Orang tua bahagia bila anaknya berprestasi dan menjadi orang yang berhasil. Itu contoh kebahagiaan yang sederhana.

Pada suatu sore menjelang malam, saya dan bapak duduk-duduk santai di teras depan rumah kami. Bapak bertanya, “Bang, apakah kau bahagia dengan kehidupan kita?” Saya menjawab,”Iya, saya bahagia. Kehidupan selalu berubah. Dahulu kita tidak seperti ini.” Lalu bapak melanjutkan pembicaraannya,”Betul. Kau pun tahu dulu kita seperti apa waktu di Kembayan. Kita ngontrak sana-sini. Lalu bapak mampu beli tanah. Waktu itu kita belum mampu buat rumah. Bapak dirikan pondok untuk kita tinggal. Disitulah tempat kita makan, tidur. Tidak lama setelah itu baru kita punya rumah sendiri. Sekarang rumah itu sudah dijual karena kita pindah ke Serawai. Di Serawai ini kita hidup mulai dari nol lagi. Sampai rumah ini jadi. Bagi bapak, biar kecil yang penting rumah sendiri.”

“Apakah bapak puas dan bahagia?” tanyaku.

“Jelas. Bapak sangat bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan pada kita. Kalian berempat mampu bapak sekolahkan sampai perguruan tinggi. Terlebih lagi dua adikmu yang merelakan diri menjadi pelayan Tuhan. Suatu kebanggaan bagi bapak. Nanti, kalau kalian semua sudah berhasil, jadilah contoh untuk orang. Jadilah orang yang ringan tangan.”

Saya mengamini nasehat bapak. Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa kebahagiaan yang sederhana adalah ketika kita mampu bersyukur atas segala karunia yang Tuhan berikan pada kita. Jadi bersyukurlah agar bahagia. Jangan merasa bahagia dahulu baru bersyukur kemudian, karena bahagia itu sesederhana saat kita bersyukur.

1 komentar
Label:

Perjalanan libur Natal dan Tahun Baru 2013

Pasar Serawai


Libur panjang akhir tahun merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang termasuk saya. Setelah berbagai macam rutinitas sepanjang tahun tentu saja kita menginginkan istirahat dan refreshing bersama keluarga, teman, maupun pacar.

Secara pribadi, liburan Natal kali ini merupakan kesempatan bagi saya untuk mengumpulkan data penelitian skripsi saya. Masih ada beberapa hal yang kurang lengkap. Saya ingin mewawancarai beberapa narasumber lagi. Kebetulan di skripsi saya membahas mengenai fonologi bahasa Dayak Uud Danum. Bisa dikatakan sambil menyelam minum air.

Saya beruntung karena libur Natal tahun ini saya ditemani pasangan saya, Santi. Bolehlah saya berbangga sedikit karena ini kali pertama saya liburan Natal dengan pasangan. Sebenarnya sudah jauh-jauh hari kami merencanakan untuk liburan di kampung. Karena Santi domisilinya di Sintang jadi kami memutuskan untuk merayakan Natal di Sintang. Kemudian baru tutup tahun di Serawai.

Santi begitu bersemangat untuk libur tahun baru di Serawai karena dia belum pernah tahun baruan di Serawai. Dia selalu bertanya bagaimana orang-orang di Serawai merayakan tutup tahun. Saya menceritakan kalau di Serawai umumnya setiap keluarga punya acara masing-masing di rumahnya. Berkumpul bersama keluarga sambil panggang-panggangan, menghidupkan api unggun, gunting kalender, menyalakan kembang api, setelah itu berdoa. Kalau mau yang ramai biasanya di kecamatan biasanya ada dangdutan. Semua orang berkumpul di sana sambil berjoget ria. Juga ada parade kembang api. Santi begitu tertarik mendengar ceritaku.

Tiket bis sudah kami pesan jauh-jauh hari, sebulan sebelumnya. Maklum biasanya libur Natal musim orang pulang kampung. Kalau kami pesan sehari sebelum berangkat kemungkinan besar tidak mendapatkan tiket. Tiket itu kami pesan untuk tanggal 21 Desember, 4 hari sebelum Natal. Harga tiket Pontianak-Sintang untuk bis besar Rp.110.000,- untuk satu orang.

Barang-barang telah kami siapkan. Satu tas penuh terisi pakaian kami berdua. Kami siap untuk berangkat. Kami menumpang bis malam, jadwal berangkatnya kira-kira pukul tujuh malam. Pukul enam lewat kami sudah menunggu di agen bis.

Sebelum berangkat biasanya saya minum obat Antimo, antisipasi mabuk kendaraan. Maklum perjalanan Pontianak-Sintang cukup jauh. Kira-kira 10 jam lamanya. Disamping itu jalan antara Pontianak-Sintang tidak terlalu bagus karena terdapat banyak jalan yang rusak. Butuh fisik yang kuat untuk perjalanan sejauh dan selama itu. Dulu saya sering KO karena tidak kuat dan tidak terbiasa dengan perjalanan jauh apalagi dengan menggunakan mobil ataupun bis.

Sepanjang perjalanan kami habiskan dengan tidur. Biasanya bis singgah di Sosok untuk istirahat dan makan. Pagi berikutnya kami sudah sampai di Sintang kira-kira pukul lima pagi. Sudah terang saat itu. Kami langsung dijemput oleh calon mertua (mamanya Santi) dan ipar dari Atambua namanya Ale.

Ada cerita lucu tentang si Ale. Ini kali pertama dia liburan di Sintang. Katanya selama perjalanan Pontianak-Sintang dia beberapa kali minta turun dari bis karena kelelahan. Mungkin pantatnya pegal. Setiap bis berhenti dikiranya sudah sampai padahal perjalanan masih panjang. Kemudian dia bercerita bahwa di kampungnya Atambua kalau jalan itu rusaknya cuma satu tempat saja, setelah itu mulus. “Tidur-tidur saja tau-tau sudah sampai,” begitu katanya. Lalu dia bandingkan dengan jalan di Kalbar ini. “Kita tidak bisa tidur dijalan. Baru merasa jalan enak belum lama sudah jalan rusak lagi. Aduuh, Sa tidak tahan.” Begitu jelasnya.

Merayakan Natal di Sintang
Berhubung Natal segera tiba, saya dan Ale berencana membuat Gua Natal. Kebetulan ini Natal pertama Ale di Kalimantan. Sebenarnya membuat Gua Natal ini idenya Ale. Dia membuat kerangka dari gua itu, saya hanya menyempurnakan saja dengan memberi warna. Kami menggunakan kertas koran karena tidak ada kertas semen. Karena dikerjakan berdua, Gua Natal itu selesai dalam sehari. Selain membuat Gua Natal kami mempercantik rumah. Kami mencat ulang jendela dan teralisnya.
Gua Natal Sederhana

Terakhir kali saya merayakan Natal di Sintang itu semasa SMA dulu. Waktu itu saya masih seorang seminaris di Seminari Sintang. Kalau tidak pulang kampung kami selalu merayakan Malam Natal dan Natal di gereja Katedral Sintang. Tidak banyak yang berubah dari gereja Katedral Sintang hanya perubahan warna interior karena dicat ulang.

Misa Malam Natal selalu semarak. Lagu Malam Kudus yang melegenda itu sudah siap untuk diperdengarkan. Gereja sudah penuh sesak dengan umat. Umat yang tidak mendapatkan tempat di dalam gereja juga bersesak-sesakan di bawah tenda yang disediakan oleh panitia. Bahkan untuk mencari tempat yang nyaman untuk duduk saja susah. Untuk situasi seperti itu kita harus rela bersesakan dan berpanas-panasan. Puji Tuhan kalau bisa mengikuti Misa dengan khidmat.

Misa Malam Natal langsung dipimpin oleh Mgr. Agustinus Agus. Pr, Uskup Sintang. Karena duduk di luar kami hanya bisa menyaksika perayaan misa dari layar infocus yang disediakan oleh panitia misa malam Natal.

Perjalanan ke Serawai
Serawai berjarak kira-kira 200 km dari kota Sintang. Ada dua jalur alternatif transportasi yang bisa digunakan bila hendak ke Serawai. Jalur transportasi primadona yang pertama tentu saja melewati jalur air menggunakan Speed Boat. Biaya (bisa disebut tambang) dari Sintang ke Serawai dengan menggunakan speed boat adalah 300 ribu Rupiah. Harga tambang ini disesuaikan dengan harga minyak (BBM). Makin mahal harga BBM makin mahal juga biaya tambang tersebut.

Jalur transportasi yang kedua adalah dengan menggunakan jalur darat. Jalur darat ini biasa dilalui dengan kendaraan sepeda motor. Karena medan yang sangat berat, sangat jarang orang menggunakan jalur darat ini. Hanya orang yang sudah terbiasa (fisik kuat dan hapal jalur) saja yang sering menggunakan jalur darat ini.

Ada dua rute yang biasa digunakan kalau kita ingin menggunakan jalur darat. Pertama, rute melalui nanga Tebidah, dan kedua melalui jalan Pinoh. Keduanya sama-sama memiliki medan yang berat dan berbukit-bukit. Jalan dalam rute ini belum beraspal, semuanya jalan tanah yang saat hujan becek bila kemarau berdebu. Untuk informasi saja, jalan darat ini sering digunakan Bapak saya bila ingin ke Sintang.

Dulu ada orang yang ngojeg menggunakan sepeda motor ke Sintang dengan menggunakan jalur darat ini. Biayanya kisaran 200-300 ribu Rupiah. Akhirnya karena medan yang begitu berat itu, tukang ojeg mikir berkali-kali untuk membawa orang ke Sintang.

Karena ingin hemat biaya, saya dan Santi memilih dua kali ganti kendaraan. Pertama menggunakan sepeda motor ke Pinoh, kemudian lanjut menggunakan speed boat dari Pinoh ke Serawai. Tambang Pinoh-Serawai 200 ribu Rupiah. Lumayan menghemat 100 ribu Rupiah.

Tanggal 28 pagi kami berangkat dari Sintang. Bisanya motoris (sebutan untuk pengemudi speed boat) membawa berangkat penumpangnya pukul 9 pagi. Sekarang jalur Sintang-Pinoh dapat ditempuh 1,5 jam dengan kecepatan 80 km/jam karena jalannya sudah mulus beraspal.

Perjalanan Pinoh-Serawai dengan menggunakan speed boat bermesin 40 HP kira-kira dilalui selama 4-5 jam lebih. Kalau kita berangkat pukul 9 pagi maka kemungkinan pukul 2 siang sudah sampai di Serawai.

Tidak banyak kegiatan yang kami lakukan selama di Serawai. Murni libur (makan tidur). Waktu itu Bapak sempat mendelegasikan (ciieh bahasanya) saya dan Santi untuk menjadi penyambut tamu pada sebuah pesta nikah adat menggantikan Bapak dan Mamak. Ada maksud terselubung dari Bapak, ternyata dengan menjadikan kami penyambut tamu secara tidak langsung saya mengenalkan Santi kepada orang-orang dan itu berhasil. Beberapa dari mereka bertanya,”Inikah dia?”, “Inikah calonmu Mbang?”. Saya menjawabnya dengan senyum dan anggukan kepala..hehe

***

Tahun baru di Serawai ternyata tidak sesuai harapan. Tidak ada acara di kecamatan seperti yang saya ceritakan pada Santi. Tidak ada dangdutan. Di rumah kami hanya menonton televisi. Tidak tampak semarak menyambut tahun baru seperti tahun sebelumnya. Selain itu, hujan turun lebih awal. Setelah misa tutup tahun murni tidak ada aktifitas di luar.

Beruntung beberapa saat sebelum pergantian tahun hujan reda. Orang-orang bergantian menyalakan kembang api. Kami hanya bisa melihat dari kejauhan. Anak-anak muda menggas motornya dengan sekencang mungkin. Ada yang knalpotnya sengaja dilepas agar suaranya semakin nyaring ketika digas. Habis itu Serawai sepi. Orang-orang mulai sibuk dengan mimpinya masing-masing.

***

Beberapa hari sebelum milir ke Pontianak, saya dan Santi menyempatkan untuk mudik ke Buntut Ponte. Santi ingin sekali mengunjungi neneknya. “Masa Can libur di Serawai ndak main ke tempat nenek?” begitu katanya. Lalu paginya kami mencari orang-orang yang hendak mudik ke Ponte. Kebetulan ada abang yang berkenan menjemput kami. Kami diantar menggunakan speed boat. Kira-kira 15 menit kami sudah sampai di Ponte.

Karena tanggal 3 Januari kami akan milir ke Sintang, jadi kami hanya tidur semalam di Ponte. Selama di Ponte kami menyempatkan untuk kandau (menunjungi) rumah keluarga. Setiap singgah kami selalu ditawari makanan. Itu sebabnya berat badan saya naik sampai 81 kg..hehe

Selalu ada kebahagiaan ketika mengunjungi keluarga di kampung. Telebih saya yang berkesempatan untuk berkenalan dengan keluarga dari pihak Santi (calon istriku) mereka sangat baik pada saya. Apalagi nenek. Beberapa waktu yang lalu saat pertama kali kami (saya dan Santi) datang ke Ponte, kami di pohpas dan didoakan. Kemarin juga kami diberi siro (ternyata sudah disiapkan) tahun baru. Tidurpun kami bersama dengan nenek di kamarnya. Nenek juga yang bersemangat menunjukkan barang-barang kerajinan untuk saya foto sebagai data penelitian skripsi saya.

Saya juga punya teman baru namanya Marcel. Dia memanggil saya dengan sebutan Bang Par (abang ipar) ganteng haha. Marcel ini anak bungsu paman Amun adiknya calon bapak mertua saya. Setelah awalnya malu-malu akhirnya Marcel dan saya menjadi akrab. Ketika kami pulang ke Sintang Marcel sedang tidur, beruntung, karena jika tidak dia akan menangis dan meminta untuk ikut.

Yah, begitulah kira-kira cerita liburan Natal saya dan Santi. Sangat berkesan. Semoga diberi kesempatan untuk liburan indah selanjutnya.    


Saya dan Marcel
Menumpang Motor Klotok
Santi berpose di depan Pastoran Serawai.

1 komentar
Label: , ,

Imercy: Dari Buruh Bangunan Menjadi Buruh Tuhan!

Fr. Trio Kurniawan CM

Tak terasa, saya sudah menyelesaikan masa Imercy saya dengan menjadi seorang buruh di sebuah bangunan yang hampir selesai. Beberapa bekas goresan (luka kecil) masih tampak di beberapa bagian tubuh saya ketika saya memutuskan untuk segera menuliskan pengalaman kecil saya dalam kegiatan ini. Rasa letih pun masih memeluk tubuh saya ini dengan manja. Saya senang boleh mengalami ini semua. Imercy ini adalah pengalaman pertama untuk saya. Masih akan ada Imercy yang lain, asal saya tetap menjalani panggilan ini.

Saya menjadi seorang buruh bangunan, demikian perintah formator kepada saya. Apa yang saya bisa lakukan dengan menjadi seorang buruh bangunan? Bangunannya seperti apa? Jujur saja, saya tidak memiliki keterampilan apapun di bidang bangunan. Tapi toh saya harus berangkat, apapun alasannya. Saya kira ini wajar. Toh dalam hidup ini, ada banyak hal yang kita tidak mengerti, namun harus kita jalani. Kita seperti berjalan dalam kegelapan. Namun, kita harus tetap berjalan untuk menjadi tanda bahwa kita hidup. Hanya seorang penakut yang memilih untuk “mati” ketika berada dalam kegelapan hidup. Saya mencoba untuk mulai menikmati “perjalanan” kecil ini.

Ternyata, saya mendapat jatah kerja di bangunan yang nyaris selesai. Ada beberapa pekerja di sana: Pak Jemain (kepala tukang), Mas Jupar, Pak No, dan beberapa pekerja borongan yang menyelesaikan pembangunan kanopi. Para pekerja borongan ini selesai dua hari setelah kedatangan saya. Oh ya, saya bekerja di tempat ini bersama seorang konfrater, Galan. Dia kakak kelas saya di seminari tinggi. Saya bersyukur karena boleh bekerjasama dengan para tukang yang sangat bersahabat ini. Mereka semua adalah para tukang yang ceria, disiplin, dan beriman (paling tidak saya melihat bahwa mereka tekun menjalankan ibadah sholatnya). Bagi saya, mereka adalah guru tukang dan sahabat yang baik. Tidak ada hari tanpa tertawa. Saya, dan Galan, diterima dengan sangat baik di tempat ini. Saya mendapat tugas mengamplas dinding, mengecat, membongkar lantai atas, mengangkat semen, mengangkut beberapa sak batu, dan membersihkan tumpahan cat. Ini pekerjaan sederhana, dan sangat pas untuk pemula seperti saya. Beruntung bahwa mereka mengerti kalau saya masih sangat “awam’ untuk menjadi tukang.

Saya, dan Galan, tidur di bangunan yang belum selesai ini. Cuacanya dingin. Celakanya, kami berdua tidak ada membawa sweater sehelaipun. Terpaksa saya tidur dengan menggunakan selimut tipis dan celana pendek saja. Awal-awalnya berat karena saya menggigil terus. Namun, lama-kelamaan malah biasa. Saya tidur di atas selembar papan triplek dan potongan banner yang ternyata lebih pendek dari ukuran badan saya. Ini semua lebih dari cukup. Setiap pagi kami makan roti tiga lapis untuk menghemat uang makan. Siang dan sore baru kami makan di warung para buruh. Apa yang bisa saya katakan tentang makan siang kami? Gila! Porsinya benar-benar “maksimal”. Saya bahkan hampir tidak melihat pinggir piring yang saya gunakan. Bagi saya, porsi sebanyak ini tentu “aneh”. Apa perut saya mampu memakan makanan sebanyak itu? Tapi toh saya harus makan. Terlanjur sudah disiapkan. Saya berjuang “mati-matian” pada hari pertama untuk menghabiskan seluruh makanan ini. Selanjutnya, belajar dari pengalaman pertama, saya selalu memesan porsi khusus (hanya setengah piring) setiap kali makan. Itupun tetap terasa masih banyak. Untungnya, satu porsi di warung itu hanya 4-5 ribu rupiah.

Pada akhirnya, saya harus kembali ke seminari. Lha, kalau saya tidak pulang bagaimana? Apa saya jadi tukang terus? Belumlah. Saya masih perlu belajar banyak tentang dunia pertukangan. Saya pulang ke seminari masih dengan menggunakan pakaian kerja. Kotor dan lusuh, seperti badan saya. Berat badan, puji Tuhan, turun beberapa kilogram. Niat kecil saya tercapai. Saya membutuhkan 1 minggu untuk menurunkan beberapa kilogram tadi. Tapi, untuk menaikkannya di seminari, saya hanya membutuhkan beberapa hari saja. Celaka!

Apa “hal’ yang saya bawa pulang ke sminari dan kemudian menjadi milik saya? Pertama, ketika ada banyak hal yang masih “gelap”, belum dimengerti, tetaplah berjalan. Modal saya untuk terus berjalan, dalam pengalaman kecil ini, adalah bahwa seminari hendak membentuk saya menjadi seorang calon imam yang baik. Ketika hidup dalam masyarakat luas, modal hidup adalah iman. Hal ini terdengar abstrak dan terlalu divine (suci)! Namun, Siapa yang kita imani ini adalah dia yang dekat, yang seringkali hilang dalam kepanikan, kesibukan, kegalauan, dan 1001 dinamika hidup kita lainnya. Karena itu, biarkan Dia yang menjadi terang kita dalam kegelapan, lewat doa, kasih, dan kegembiraan sebagai sahabat Tuhan. Kedua, kegembiraan itu bukan hanya milik orang kaya! Namun juga bukan hanya milik orang miskin! Kegembiraan adalah milik orang-orang yang tahu berterima kasih karena selalu menyadari setiap pemberian Tuhan dalam hidupnya. Saya melihat dan mengalami kegembiraan ini dalam pribadi para tukang yang bekerja bersama saya di bangunan ini. Kami bergembira secara sederhana. Kami menertawakan kebodohan dan kehebatan kami sendiri. Kami menertawakan kelalaian dan keberhasilan kami secara jujur. Seringkali dengan mengatakan “miskin” ataupun “kaya”, kita secara tidak sadar (atau malah sadar) memojokkan satu pihak dan meninggikan pihak yang lain. Saya secara pribadi kurang setuju dengan term ini. Saya lebih senang menyebut setiap manusia sebagai orang! Dan ketiga, saya menyadari bahwa setiap orang masih membutuhkan selaksa pengalaman agar ia mampu menilai hidup cecara bijak dan mencintai manusia dengan Allah secara total. Hal-hal ini juga yang saya coba terapkan dalam menjalani panggilan, seorang "buruh Tuhan".

0 komentar
Label:

KLARIFIKASI @Hanungbramantyo UNTUK FILM “Cinta Tapi Beda”




Beberapa saat setelah peluncurannya di bioskop XXI Indonesia, film “Cinta Tapi Beda” langsung mendapatkan kontroversi dari pihak yang kurang menyetujui “konten” dari film tersebut. Dikatakan bahwa film “Cinta Tapi Beda” melanggar identitas suku Minang karena di dalam film tersebut dikisahkan ada seorang gadis Padang beragama Katolik jatuh cinta pada pemuda Yogyakarta beragama Islam.



Menyikapi kontroversi itu Hanung Bramantyo dalam akun twitternya @Hanungbramantyo melakukan klarifikasi sebagai berikut:


1.  Selaku filmaker pantang untuk membela filmnya ketika dikritik #CTB


2.  filmaker jg Pantang menjelas2kan secara verbal ke penonton saat film yg udah release. Hak penonton menafsir #CTB


3.  Tp yg terjadi, byk penonton mengecam film tanpa menonton. Hanya membaca sinopsis #CTB


4.  Karena itu sy terpaksa MENELAN sikap sy sendiri dan menjelaskan seperti apa film #CTB


5.  Film #CTB bukan film ttg NIKAH beda Agama. Tapi tentang cinta beda Agama.


6.  Silakan CEK apakah sy menampilkan adegan pernikahan beda Agama? #CTB


7.  jadi kalo ada yg menulis review bahwa film #CTB adalah kampanye nikah beda agama, itu Fitnah


8.  Bahkan habib Salim Assegaf (FPI) menyatakan film #CTB tdk ada masalah dg syariat.


9. Kisah film #CTB adlh kisah cinta antara lelaki asal jogja muslim bernama Cahyo dengan perempuan dari Padang bernama Diana


10. Kenapa Padang? Krn kami ingin memotret masy minoritas non muslim . Tujuannya: ada kebhinekaan disana #CTB


11. Adalah idealisme kami selalu menampilkan kebhinekaan dlm tiap2 film @dapurfilm #CTB


12.  Bahkan di film Perahu kertas kami menyisipkan kebhinekaan melalui tokoh Eko yg etnis Arab #CTB


13.  Rupanya pilihan Kota Padang katolik ini yg mjd persoalan masy Minang. Mari kita urai ... #CTB


14.  Apakah di Film #CTB menyebutkan Diana bersuku Minang? Silakan dibuktikan dengan menonton


15.  Di film digambarkan Ibu Diana tinggal di padang. Di Jakarta Diana numpang tinggal di tempat omnya yg Menado #CTB


16.  Jadi bisa diasumsikan, keluarga Diana bukan asli Padang. Tapi pendatang #CTB


17.  Di rumah Ibu Diana pun juga tidak ada atribut yg menggambarkan suku minang apapun #CTB


18.  Memang ada lokasi Diana bersama Oka berjalan di perkampungan Minang. Tp apakah lantas dg begitu mereka bersuku Minang? #CTB


19.  Sy heran darimana org bisa menuduh Diana bersuku Minang? Berarti mereka TiDak menonton filmnya #CTB


20.  Setelah sy konfirmasi ke pihak XXI, di Padang tdk ada bioskop jaringan 21. Jd film #CTB dipastikan tidak tayang disana


21.  Jadi darimana masy Minang, bahkan yg ada di Mesir bisa tahu kisah Film #CTB. Pasti dari review


22.  Sangat disayangkan, orang bisa menilai, kritik bahkan menghakimi karya tanpa menontonnya #CTB


23.  Sy sadar film #CTB yg sejujurnya disutradarai @hesstu bukanlah karya sempurna


24.  Film adlah karya budaya, jadi mari kita sikapi dengan berbudaya #CTB


25.  Kritik, saran dan dialog sangat terbuka. Tp lakukanlah dg berbudaya#CTB


26.  Kami sampaikan MAAF jika karena #CTB membuat byk masy Minang terluka. Salam ....

0 komentar
 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.