Label: ,

Bahagia Itu Sederhana



Saya sering mendengar orang-orang bicara, saya bahagia kalau saya punya banyak uang, mobil mewah, dan isteri cantik. Ada juga yang mengatakan, saya bahagia bila saya bisa keliling dunia dengan gratis. Adalagi yang mengatakan, saya bahagia bila berada didekat kekasih saya. Ada begitu banyak ungkapan kebahagiaan.

Ada juga yang mengeluh karena merasa tidak bahagia. Merasa tidak bahagia karena sering sakit-sakitan. Ada lagi yang merasa tidak bahagia karena sering bertengkar dengan pasangan. Ada juga yang tidak bahagia karena tidak kaya. Merasa jelek. Bahkan ada yang merasa tidak bahagia karena merasa kesepian meskipun punya banyak uang, rumah megah, mobil mewah, serta isteri cantik. Terlebih merasa tidak bahagia karena kurang CINTA.

Ada juga kebahagiaan yang salah kaprah. Mereka mencari kebahagiaan pada Narkoba dan alkohol. Ada yang bahagia bila dibelikan orang tua handphone mahal atau sepeda motor. Serta banyak lagi.

Sebenarnya apa sih takaran kebahagiaan? Apakah materi? Jabatan? Atau menjadi terkenal? Dalam kehidupan hedonis seperti saat ini, mungkin jawabannya iya. Itulah takaran kebahagiaan. Lantas bagaimana dengan mereka yang tak punya cukup uang?

Sebenarnya kebahagiaan itu sangat sederhana. Tidak perlu harus punya banyak materi, punya jabatan, atau menjadi terkenal. Bahagia itu kita yang buat, bukan dicari.

Bahagia itu tidak perlu mahal. Orang yang bahagia itu seperti seorang petani yang duduk di pondok merokok sambil minum kopi, lalu sebentar-sebentar dia melihat kearah padinya yang mulai menguning. Seperti seorang guru yang tersenyum melihat nilai muridnya yang tinggi tanpa menyontek.  Orang tua bahagia bila anaknya berprestasi dan menjadi orang yang berhasil. Itu contoh kebahagiaan yang sederhana.

Pada suatu sore menjelang malam, saya dan bapak duduk-duduk santai di teras depan rumah kami. Bapak bertanya, “Bang, apakah kau bahagia dengan kehidupan kita?” Saya menjawab,”Iya, saya bahagia. Kehidupan selalu berubah. Dahulu kita tidak seperti ini.” Lalu bapak melanjutkan pembicaraannya,”Betul. Kau pun tahu dulu kita seperti apa waktu di Kembayan. Kita ngontrak sana-sini. Lalu bapak mampu beli tanah. Waktu itu kita belum mampu buat rumah. Bapak dirikan pondok untuk kita tinggal. Disitulah tempat kita makan, tidur. Tidak lama setelah itu baru kita punya rumah sendiri. Sekarang rumah itu sudah dijual karena kita pindah ke Serawai. Di Serawai ini kita hidup mulai dari nol lagi. Sampai rumah ini jadi. Bagi bapak, biar kecil yang penting rumah sendiri.”

“Apakah bapak puas dan bahagia?” tanyaku.

“Jelas. Bapak sangat bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan pada kita. Kalian berempat mampu bapak sekolahkan sampai perguruan tinggi. Terlebih lagi dua adikmu yang merelakan diri menjadi pelayan Tuhan. Suatu kebanggaan bagi bapak. Nanti, kalau kalian semua sudah berhasil, jadilah contoh untuk orang. Jadilah orang yang ringan tangan.”

Saya mengamini nasehat bapak. Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa kebahagiaan yang sederhana adalah ketika kita mampu bersyukur atas segala karunia yang Tuhan berikan pada kita. Jadi bersyukurlah agar bahagia. Jangan merasa bahagia dahulu baru bersyukur kemudian, karena bahagia itu sesederhana saat kita bersyukur.

1 komentar:

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.