Label: , ,

Siapa yang Kita Kalahkan?



Kita lahir sebagai seorang PEMENANG. Saya kira, kalimat ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kalaupun ada yang baru mendengarnya atau membacanya, saya ucapkan selamat! Saya yang pertamakali menyampaikannya kepada Anda. Kalimat ini cukup sering menyihir orang-orang yang membacanya, atau juga mendengarnya. Mengapa demikian? Karena sejak sediakalanya substansi terkecil untuk membentuk manusia (sperma) itu berkompetisi. Dalam proses pembuahan, ada jutaan sperma yang berlomba untuk membuahi satu ovum. Namun hanya satu yang “berhasil” masuk dan menjadi bakal embrio manusia. Wajarlah jika sejak lahir, manusia memiliki kecenderungan untuk berkompetisi dan menjadi pemenang.

Hal ini dipertegas lagi dengan kenyataan bahwa sejak masih playgroup hingga kuliah, manusia sudah dijejali pandangan bahwa yang juara 1 dalam belajar adalah yang terbaik. Benarkah demikian? Sebenarnya, siapa atau apa yang kita kalahkan? Tentang hal ini, saya ingin berbagi sedikit pengalaman saya dalam “berkompetisi”.

Saya berasal dari sebuah keluarga yang sederhana. Bapak, Mamak, Bang Timbang, Rambang, saya, dan Yeni. Waktu kecil dulu, saya tidak pernah mendapat pendidikan untuk berkompetisi dalam keluarga. Bapak dan mamak selalu meminta kami untuk memberikan yang terbaik yang kami bisa. Saya punya 2 saudara dan 1 saudari. Setiap kami memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bang Timbang dengan bakat basket, musik, dan kepemimpinannya. Rambang dengan kecerdasan dan kedisiplinannya. Yeni dengan bakat seninya. Well, kami tidak ambil pusing dengan itu semua. Yang penting, orangtua meminta kami untuk selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan titipkan buat kami. Maka, jadilah kami seperti ini.

Saya mulai mengenal (dan menyadari) adanya kompetisi itu sejak SD. Maka, berlomba-lombalah saya dan teman sekelas untuk mendapatkan rangking 1 di kelas. Siapa yang saya “kalahkan”? Ya, teman-teman sekelas. Demikian seterusnya hingga saya SMA. Saya kira, hampir semua dari kita pasti mengalami hal yang sama, bahwa sekolah itu tempat berkompetisi. Bukankah pendidikan kita sudah dkondisikan seperti itu?

Semua pandangan saya tentang kompetisi ini berubah total semenjak saya lulus SMA. Ada yang terlupakan semenjak saya dan kawan-kawan menyibukkan diri dengan segala macam kompetisi ini. Ada yang terlewatkan dari semangat untuk saling “mengalahkan” ini. Saya tersadar bahwa pada akhirnya yang saya kalahkan adalah diri saya sendiri. Semua macam kompetisi kita akan berujung pada PENAKLUKAN DIRI! Ketika beranjak dewasa, manusia akan melihat kecenderungan manusiawi di dalam dirinya sebagai lawan yang nyaris tak terkalahkan. Kecenderungan ini terlalu perkasa. Melawan segenap kecenderungan ini, kita sering menangis dan menyerah ketika kalah. Bahkan, Tuhan sendiri pernah mengingatkan kita akan beratnya penaklukan diri ini: “Roh memang penurut, tetapi daging lemah!” (lih. Mat 26: 41).

Saya menyadari bahwa seorang pemenang adalah orang yang mampu mengalahkan kecenderungan manusiawi di dalam dirinya. Ia bisa menang melawan kemalasan, ketidaktenangan, kegelisahan, ketakutan, dan lainnya. Ketika hatinya teguh pada satu tujuan yang mulia, manusia dapat menyingkirkan satu per satu kecenderungan mausiawi itu. Saya mengalami bahwa hal ini tidak mudah. Kita bisa saja jatuh pada lembah kebingungan tentang siapa yang kita lawan. Saya pun akan masih terus bergelut dengan hal ini, sembari saya terus berziarah untuk mencari hidup yang sejati. Maka, ketika kita merasa sendiri dalam berjuang mengalahkan diri sendiri, ingatlah bahwa ada jutaan manusia yang juga sedang berjuang bersama kita. Sekali lagi, kita lahir sebagai seorang PEMENANG! Pemenang atas diri kita sendiri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.