Pesona Bukit Kelam

Bukit kelam merupakan satu destinasi wisata terkenal di Kabupaten Sintang.

Suku Bangsa Dayak Uud (Uut) Danum

Suku bangsa Dayak Uud (Uut) Danum merupakan subsuku penduduk asli pulau Kalimantan.

The Phenomenon of Kempunan Lessons

The Dayak worldview, the indigenous people of Borneo/Kalimantan Island, can be likened to the worldview of the ancient Greeks before the coming of philosophers which was greatly mythological in its nature..

Asal Usul Cihie (Sihiai)

Menelusuri asal Cihie sebagai subsuku Dayak Uud (Uut) Danum.

Kosanak Kolop Doro' Bohuang

Kisah mengenai pelajaran dan nasihat hidup.

New Life, New Adventure

Pernikahan Sutimbang dan Santi.

Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan
Label: , ,

Nama




Beberapa dari kita mungkin sudah pernah atau bahkan sering mendengar tentang percakapan terkenal antara Romeo dan Juliet di drama romantis dan tragis karya William Shakespear, Romeo & Juliet. Satu pernyataan dari Romeo kepada Juliet yang berhubungan dengan judul artikel ini: “Apalah arti sebuah nama!” Jikalau kita melihat dengan seksama, pernyataan dari Romeo ini bukanlah sebuah pertanyaan yang mengharapkan jawaban yang memberikan uraian tentang makna dari sebuah nama, melainkan pernyataan ini hendak meyakinkan kita bahwa nama tidaklah memiliki arti, atau dengan kata lain sebuah nama jikalau memiliki arti, arti tersebut patutlah diragukan kebenarannya. Pernyataan Romeo ini sebenarnya adalah penyangkalan dan juga suatu bentuk pemberontakan terhadap perselisihan antara dua keluarga, yaitu keluarga Romeo dan Juliet sendiri. Nama keluarga yang dimiliki oleh Romeo ataupun Juliet seakan-akan  menjadi petanda status sosial dan akhirnya mengisyaratkan kebencian.  Perselisihan ini menjadi tembok pemisah jalinan asmara antara Romeo dan Juliet. Kobaran api asmara antara kedua insan muda ini mencoba untuk membakar habis tembok pemisah cinta mereka.  

Apalah arti sebuah nama. Pernyataan ini seringkali terselip  di lidah kita, tanpa terkecuali si penulis. Pernahkah kita bertanya tentang hal-hal penting yang kita bisa pelajari dari topik yang menjadikan ‘nama’ sebagai pokok bahasan? Pernahkah kita bertanya apakah nama yang kita miliki mau mengatakan sesuatu tentang diri kita? Atau kemudian kita bersikap skeptikal setelah menyadari bahwa nama yang kita miliki tidak memiliki arti apapun dan akhirnya berkata juga, “Apalah arti sebuah nama.” Maka dari itu, untuk menjembatani keraguan kita tersebut, artikel ini mencoba untuk mengulas secara filosofis dan teologis sebuah materi yang berhubungan dengan ‘nama’: hubungan nama dengan kuasa, nama sebagai penunjuk identitas dan akhirnya hubungan nama dengan keselamatan Kristiani.

Rahmat Untuk Memberi Nama
Kita telah diberi rahmat untuk memberi nama atau menamai. Di Kitab Kejadian, kita masih ingat disaat Allah selesai menciptakan semesta alam beserta segala isinya, Allah memberikan kepada manusia suatu rahmat untuk menamai segala makhluk hidup yang ada di atas langit, di laut dan di dalam bumi di bawah. Rahmat ini tentu saja diperuntukkan bagi manusia, bukan kepada makhluk ciptaan Allah yang lainnya, karena sejak dari awal Allah menghendaki manusia untuk ambil bagian dalam karya penciptaan. Dengan menerima rahmat ini, kita juga diajak oleh Allah untuk menjadi penyalur rahmat dan bersama dengan Allah kita berani berseru, “Semua ini baik adanya. Nama ini baik adanya.”

Selain daripada itu, rahmat untuk memberi nama atau menamai hendak mengatakan sesuatu hal yang sangat penting kepada kita, yaitu kuasa. Salah satu tujuan Allah agar Adam menamai segala makhluk yang telah Ia ciptakan ialah dengan menerima rahmat ini, Adam juga memiliki kuasa atas segala makhluk ciptaan-Nya. Seperti apa yang kita ketahui dari Kitab Kejadian, Allah berfirman, “… .Mereka akan berkuasa atas segala ikan di laut, burung di udara, dan semua binatang, yang jinak dan liar, yang besar dan yang kecil” (Kejadian 1:24). Ia juga menghendaki agar semua binatang ini menjadi teman bagi manusia (Kejadian 2:18-20). Namun, seperti apa yang dikatakan di film Spiderman, ‘semakin besar kuasa yang kita miliki, semakin besar pula tanggung jawab yang harus kita emban’.

Nama: Kuasa yang Kita Terima!
Sekarang kita sudah tahu bahwa rahmat yang kita miliki untuk memberi nama, secara langsung menjadikan kita memiliki kuasa. Untuk hal ini, kuasa harus dilihat secara positif. Jika kita melihat dari sisi emosi kita sebagai manusia, dengan memiliki rahmat untuk menamai, kita punya kuasa atas perasaan-perasaan kita. Ini sangat penting, karena perasaan manusia terkadang bisa menghancurkan. Misalnya, disaat sedang beragumen dengan seorang teman kita, kita merasa ada dorongan dari dalam diri kita yang sepertinya sulit untuk dikendali. Jantung kita mulai berdetak kencang, kita mulai mengepalkan tangan kita, suhu tubuh mulai naik beberapa Celsius, raut wajah kita berubah sangar dan memerah dan kita mulai ingin melayangkan satu atau dua tonjukan keras ke arah muka teman kita tersebut. Perasan-perasaan aneh ini haruslah cepat kita atasi dengan memberi nama terhadap perasaan tersebut. Kita kemudian menamai perasaan ini sebagai amarah. Dengan menamai perasaan ini sebagai amarah, kita akhirnya punya kuasa atas amarah kita dan dengan segera mengambil tindakan agar amarah kita bisa diredami. Namun sayangnya seringkali kita kurang dewasa untuk menyikapi amarah kita dan tidak memperdulikan perasaan kita sehingga akhirnya berakibat buruk terhadap diri kita dan juga orang lain.

Apapun bentuk perasaan yang sering mucul di dalam diri kita, misalnya hati yang berbunga-bunga saat si dia ada di samping kita yang merupakan tanda jatuh cinta, tiba-tiba saja kita ingat akan kedua orangtua kita yang sedang berada di kampung halaman yang merupakan tanda bahwa kita sedang rindu, tiba-tiba saja segala yang telah kita lakukan sepertinya tidak menghasilkan apa-apa yang merupakan tanda kecewa, dan sebagainya, haruslah segera kita namai. Dengan demikian kita memiliki kuasa atas perasaan-perasaan kita dan segera mengambil langkah yang tepat atas perasaan-perasaan kita tersebut.

Nama: Jalan Menuju Penyembuhan
Selain mengetahui efek dari menamai terhadap emosi kita, rahmat untuk menamai juga mengantar kita pada penyembuhan. Prinsipnya tetap sama, dengan menamai sesuatu kita memiliki kuasa atas hal tersebut. Hal ini tampak dalam kisah Zakaria yang menjadi bisu karena tidak percaya akan perkataan malaikat yang menyatakan bahwa Elisabet isterinya akan mengandung meskipun diusia yang sudah tua. Pelepasan Zakaria dari ikatan yang mengekang lidahnya terjadi ketika ia diminta pendapat oleh para tetangga dan sanak keluarga Elisabet tentang nama yang pantas untuk bayi sepupu Yesus itu. Kemudian Zakaria  mulai menulis, “Namanya adalah Yohanes.” Seketika itu juga Zakaria kembali bisa berbicara secara normal dan memuji Allah. Dari peristiwa ini kita kemudian yakin bahwa memberi nama adalah salah satu jalan menuju kesembuhan.

Tentu saja ini bukan berarti dengan menamai seseorang semata, kita akan disembuhkan dari suatu penyakit. Yang penulis hendak sampaikan adalah pentingnya nama dari sudut pandang dunia medis. Kita masih menggunakan prinsip yang sama yaitu dengan menamai sesuatu kita memiliki kuasa atas hal tersebut. Contohnya bisa kita lihat berikut ini. Suatu ketika Adit merasakan nyeri yang sangat menyakitkan di perutnya. Asumsi pertama dari Adit adalah ia sedang mengalami sakit perut biasa. Kemudian Adit meminum obat sakit perut untuk meredakan nyeri yang ia rasakan. Namun hasilnya percuma, Adit masih merasakan sakit di perutnya dan kali ini lebih menyakitkan. Adit lalu mencoba untuk pergi ke dukun supaya mendapatkan penyembuhan secara tradisional. Celakanya, hasilnya tetap sama, nyeri di perut Adit semakin menjadi-jadi. Terakhir, Adit pergi ke rumah sakit untuk melaksanakan checkup. Setelah didiagnosis ternyata Adit mengidap penyakit batu ginjal. Pihak rumah sakit menyarankan Adit untuk melaksanakan operasi pengangkatan batu ginjal tersebut.

Contoh di atas hanya mau mengatakan bahwa setelah mengetahui nama penyakit yang sedang Adit alami, pihak medis mengambil tindakan atau solusi yang seperlunya guna kesembuhan Adit. Sekarang mari kita beranjak ke dunia spiritualitas. Sekedar berbagi pengalaman, penulis telah beberapa kali ambil bagian dalam ritual pengusiran setan (exorcism) yang dilakukan oleh para imam-imam Katolik. Salah satu cara untuk mengalahkan kekuatan setan yang sedang merasuki seseorang adalah dengan menanyakan nama roh jahat yang merasuki orang tersebut. Ini dikarenakan roh jahat memiliki kebiasaan untuk menyembunyikan identitas mereka sehingga jangan sampai diketahui. Di beberapa buku tentang ritual pengusiran setan (exorcism) yang penulis pernah baca, untuk kasus yang berat roh jahat tersebut memiliki nama yang juga bisa kita temukan di Kitab Suci seperti Setan, Lusifer, Zebulun, Meridian, Asmodeus, dan sebagainya. Apabila nama roh jahat tersebut telah diketahui, pembebasan akan dengan mudah terjadi karena para eksorsis langsung menemukan cara seperti apa untuk mengalahkan roh jahat tersebut. Prinsipnya sama, dengan mengetahui nama roh jahat tersebut kita atas rahmat dari Allah akan memiliki kuasa terhadap roh jahat ini dan mematahkan kekuatannya.

Sama halnya dengan pengakuan dosa. Pengakuan dosa adalah salah satu cara untuk mematahkan kekuatan setan karena disaat kita mengakui dosa-dosa kita, setan tidak punya tempat untuk bersembunyi dan setan sangat tidak ingin diketahui. Dengan menamai dosa-dosa dan kesalahan yang telah kita lakukan, identitas setan akan terbongkar dan akhirnya kita dipersatukan kembali dengan Allah. Namun sayangnya, banyak sekali umat Katolik yang belum sadar dan mengerti betapa  pentingnya sakramen tobat terlebih untuk masa-masa sekarang dimana antara yang baik dan yang jahat sudah dibuat kabur. Gereja Katolik selalu mengajarkan agar kita sesering mungkin untuk menerima sakramen tobat. Tujuannya adalah agar kita dengan layak dan pantas serta dengan penuh kerendahan hati memanggil kembali Allah sebagai Bapa kita.   

Sebuah Nama Baru
Sekarang kita hendak bertanya, apakah namaku memiliki arti? Beberapa dari kita bangga akan nama yang kita miliki karena nama tersebut memilki arti yang bagus dan kita berusaha untuk hidup dan berperilaku sesuai dengan arti dari nama tersebut. Saudara-saudari kita keturunan Tionghoa memiliki tradisi yang unik didalam memberi nama kepada bayi yang baru lahir. Beberapa dari nama tersebut memiliki arti seperti bunga yang harum di pagi hari, angin sejuk yang berhembus, dan sebagainya. Suku Dayak juga memiliki cara yang unik didalam menamai seorang bayi yang baru lahir, dan juga suku-suku lainnya di Indonesia.
Namun beberapa dari kita memiliki nama yang mungkin tidak berbicara tentang suatu arti di dalamnya. Hendaknya kita tidak berkecil hati karena kita semua memiliki sebuah nama baru, yaitu nama yang menjadikan kita sebagai pengikut Kristus, Kristen. Karena rahmat sakramen Permandian, kita diangkat menjadi anak-anak Allah, berjanji setia sebagai pengikit Kristus. Dalam kehidupan kita sehari-hari, di sekolah, di kantor, di tempat kita bekerja dan di manapun juga, kita berusaha untuk menampilkan identitas kita sebagai pengikit Kristus yang setia, anak-anak Allah yang terkasih. Hal ini sesuai dengan diktum, agere sequitur esse atau doing follows being atau setiap tindakan harus sejalan dengan kodrat dari pelaku tindakan tersebut. Artinya, semua tindakan yang kita lakukan haruslah sejalan dengan kodrat kita sebagai manusia. Begitu juga, misalkan, dengan seekor anjing bahwa semua tindakan anjing tersebut haruslah sesuai dengan kodratnya sebagai seekor anjing, bukan seekor ayam. Dan kita sebagai seorang Kristen, setiap tindakan kita hendaklah sejalan dengan identitas kita sebagai seorang pengikut Kristus dengan melaksanakan perintah kasih-Nya serta ajaran-ajaran Gereja sebagai wakil Kristus di dunia ini.

Nama yang Menyelamatkan
Akhirnya iman kita sebagai orang seorang Kristen meyakinkan kita bahwa satu nama yang memiliki kuasa untuk menyelamatkan adalah satu nama yang kudus, Yesus Kristus. Disaat dunia terus mencoba untuk membuktikan bahwa Yesus bukanlah Tuhan, kita dengan iman yang teguh yakin bahwa nama Yesus adalah nama yang menyelamatkan. Pengalaman-pengalaman hidup kita sehari-hari telah mengajarkan kita bahwa dalam nama Yesus, keselamatan terjadi. Sebelum kita berpergian, kita selalu membuat tanda keselamatan dan dengan yakin berkata, “Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus. Amin!” Kita yakin dalam nama Yesus, tidak ada satupun kekuatan maut yang mampu melawan. Kita yakin bahwa dalam nama Yesus setiap lutut akan bertekuk, setiap lidah akan mengakui kemuliaan Allah Bapa dan Dia-lah Tuhan untuk selama-lamanya.

Apalah arti sebuah nama. Sekarang kita yakin bahwa ‘nama’ memiliki arti yang luar biasa.
           

Penulis: Rambang Ngawan

           

0 komentar
Label: , ,

Siapa yang Kita Kalahkan?



Kita lahir sebagai seorang PEMENANG. Saya kira, kalimat ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kalaupun ada yang baru mendengarnya atau membacanya, saya ucapkan selamat! Saya yang pertamakali menyampaikannya kepada Anda. Kalimat ini cukup sering menyihir orang-orang yang membacanya, atau juga mendengarnya. Mengapa demikian? Karena sejak sediakalanya substansi terkecil untuk membentuk manusia (sperma) itu berkompetisi. Dalam proses pembuahan, ada jutaan sperma yang berlomba untuk membuahi satu ovum. Namun hanya satu yang “berhasil” masuk dan menjadi bakal embrio manusia. Wajarlah jika sejak lahir, manusia memiliki kecenderungan untuk berkompetisi dan menjadi pemenang.

Hal ini dipertegas lagi dengan kenyataan bahwa sejak masih playgroup hingga kuliah, manusia sudah dijejali pandangan bahwa yang juara 1 dalam belajar adalah yang terbaik. Benarkah demikian? Sebenarnya, siapa atau apa yang kita kalahkan? Tentang hal ini, saya ingin berbagi sedikit pengalaman saya dalam “berkompetisi”.

Saya berasal dari sebuah keluarga yang sederhana. Bapak, Mamak, Bang Timbang, Rambang, saya, dan Yeni. Waktu kecil dulu, saya tidak pernah mendapat pendidikan untuk berkompetisi dalam keluarga. Bapak dan mamak selalu meminta kami untuk memberikan yang terbaik yang kami bisa. Saya punya 2 saudara dan 1 saudari. Setiap kami memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bang Timbang dengan bakat basket, musik, dan kepemimpinannya. Rambang dengan kecerdasan dan kedisiplinannya. Yeni dengan bakat seninya. Well, kami tidak ambil pusing dengan itu semua. Yang penting, orangtua meminta kami untuk selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan titipkan buat kami. Maka, jadilah kami seperti ini.

Saya mulai mengenal (dan menyadari) adanya kompetisi itu sejak SD. Maka, berlomba-lombalah saya dan teman sekelas untuk mendapatkan rangking 1 di kelas. Siapa yang saya “kalahkan”? Ya, teman-teman sekelas. Demikian seterusnya hingga saya SMA. Saya kira, hampir semua dari kita pasti mengalami hal yang sama, bahwa sekolah itu tempat berkompetisi. Bukankah pendidikan kita sudah dkondisikan seperti itu?

Semua pandangan saya tentang kompetisi ini berubah total semenjak saya lulus SMA. Ada yang terlupakan semenjak saya dan kawan-kawan menyibukkan diri dengan segala macam kompetisi ini. Ada yang terlewatkan dari semangat untuk saling “mengalahkan” ini. Saya tersadar bahwa pada akhirnya yang saya kalahkan adalah diri saya sendiri. Semua macam kompetisi kita akan berujung pada PENAKLUKAN DIRI! Ketika beranjak dewasa, manusia akan melihat kecenderungan manusiawi di dalam dirinya sebagai lawan yang nyaris tak terkalahkan. Kecenderungan ini terlalu perkasa. Melawan segenap kecenderungan ini, kita sering menangis dan menyerah ketika kalah. Bahkan, Tuhan sendiri pernah mengingatkan kita akan beratnya penaklukan diri ini: “Roh memang penurut, tetapi daging lemah!” (lih. Mat 26: 41).

Saya menyadari bahwa seorang pemenang adalah orang yang mampu mengalahkan kecenderungan manusiawi di dalam dirinya. Ia bisa menang melawan kemalasan, ketidaktenangan, kegelisahan, ketakutan, dan lainnya. Ketika hatinya teguh pada satu tujuan yang mulia, manusia dapat menyingkirkan satu per satu kecenderungan mausiawi itu. Saya mengalami bahwa hal ini tidak mudah. Kita bisa saja jatuh pada lembah kebingungan tentang siapa yang kita lawan. Saya pun akan masih terus bergelut dengan hal ini, sembari saya terus berziarah untuk mencari hidup yang sejati. Maka, ketika kita merasa sendiri dalam berjuang mengalahkan diri sendiri, ingatlah bahwa ada jutaan manusia yang juga sedang berjuang bersama kita. Sekali lagi, kita lahir sebagai seorang PEMENANG! Pemenang atas diri kita sendiri!

0 komentar
Label: , ,

Kawan, Lihatlah Bebanmu Menjadi Ringan




Fr. Rambang Ngawan, OP
Sore itu seorang kawan mengeluh kepadaku, "beban hidup ini terasa semakin berat. Tugas dari dosen semakin menumpuk, sedangkan daya tubuhku tidak mampu menyelesaikan semuanya. Aku belum pulih dari sakitku." Dan aku berusaha menenangkan dia mencoba memahaminya, kataku," Ya aku mengerti, memang seperti itu pada awalnya. Mengenai sakitmu, ada baiknya jika kamu berdevosi kepada Bunda Maria atau berdoa Rosario secara rutin demi kesehatanmu. Konsultasi juga ke dokter secara rutin." "Ya. Akan aku coba", jawabnya kepadaku."Namun yang kurasa selama ini aku semakin jauh dari Tuhan. Aku lelah." keluhnya lagi. Aku terdiam. Menghela nafasku. Iba hatiku mendengarnya. Dia masih muda dan banyak mimpi di benaknya. Aku tersadar dan kulanjutkan kata-kataku,"Hey kawan jangan bersedih. Sesungguhnya Tuhan semakin dekat mendekapmu. Rasakan dan percayalah. Kau tak lagi sendiri." Setidaknya itulah kata-kata yang bisa ku ingat dari percakapan kami.

Esoknya, di ruang belajarku, aku mulai mengambil pen dan secarik kertas. Aku ingin bercerita tentang hari kemarin lewat sebuah puisi yang sederhana.

Untukmu...

Kawan

Jika suatu hari kamu merasa
ingin menangis, panggil aku!
aku tidak berjanji bahwa aku akan
membuatmu tertawa tetapi aku dapat
menangis bersamamu.

Jika suatu hari kamu ingin lari menjauh,
jangan takut untuk memanggil aku!
Aku berjanji tidak akan memintamu
berhenti tetapi aku akan
berlari denganmu.

Jika suatu hari kamu tidak mau
mendengarkan seorangpun, panggil aku!
aku berjanji akan hadir bersamamu dan
akupun akan diam.
Aku mengasihimu,
jangan lupakan itu!
Di dalam waktu indah maupun buruk, aku
akan selalu bersamamu...

Dan kawan...lihatlah bebanmu menjadi ringan.
Tuhan berbisik kepadaku dalam doaku.
"Aku menggendong temanmu. Mengobati luka-lukanya.
Ia baru saja jatuh, dan lukanya pasti sembuh segera.
Katakan padanya...betapa Aku mencintai dia."

0 komentar
Label: ,

Bahagia Itu Sederhana



Saya sering mendengar orang-orang bicara, saya bahagia kalau saya punya banyak uang, mobil mewah, dan isteri cantik. Ada juga yang mengatakan, saya bahagia bila saya bisa keliling dunia dengan gratis. Adalagi yang mengatakan, saya bahagia bila berada didekat kekasih saya. Ada begitu banyak ungkapan kebahagiaan.

Ada juga yang mengeluh karena merasa tidak bahagia. Merasa tidak bahagia karena sering sakit-sakitan. Ada lagi yang merasa tidak bahagia karena sering bertengkar dengan pasangan. Ada juga yang tidak bahagia karena tidak kaya. Merasa jelek. Bahkan ada yang merasa tidak bahagia karena merasa kesepian meskipun punya banyak uang, rumah megah, mobil mewah, serta isteri cantik. Terlebih merasa tidak bahagia karena kurang CINTA.

Ada juga kebahagiaan yang salah kaprah. Mereka mencari kebahagiaan pada Narkoba dan alkohol. Ada yang bahagia bila dibelikan orang tua handphone mahal atau sepeda motor. Serta banyak lagi.

Sebenarnya apa sih takaran kebahagiaan? Apakah materi? Jabatan? Atau menjadi terkenal? Dalam kehidupan hedonis seperti saat ini, mungkin jawabannya iya. Itulah takaran kebahagiaan. Lantas bagaimana dengan mereka yang tak punya cukup uang?

Sebenarnya kebahagiaan itu sangat sederhana. Tidak perlu harus punya banyak materi, punya jabatan, atau menjadi terkenal. Bahagia itu kita yang buat, bukan dicari.

Bahagia itu tidak perlu mahal. Orang yang bahagia itu seperti seorang petani yang duduk di pondok merokok sambil minum kopi, lalu sebentar-sebentar dia melihat kearah padinya yang mulai menguning. Seperti seorang guru yang tersenyum melihat nilai muridnya yang tinggi tanpa menyontek.  Orang tua bahagia bila anaknya berprestasi dan menjadi orang yang berhasil. Itu contoh kebahagiaan yang sederhana.

Pada suatu sore menjelang malam, saya dan bapak duduk-duduk santai di teras depan rumah kami. Bapak bertanya, “Bang, apakah kau bahagia dengan kehidupan kita?” Saya menjawab,”Iya, saya bahagia. Kehidupan selalu berubah. Dahulu kita tidak seperti ini.” Lalu bapak melanjutkan pembicaraannya,”Betul. Kau pun tahu dulu kita seperti apa waktu di Kembayan. Kita ngontrak sana-sini. Lalu bapak mampu beli tanah. Waktu itu kita belum mampu buat rumah. Bapak dirikan pondok untuk kita tinggal. Disitulah tempat kita makan, tidur. Tidak lama setelah itu baru kita punya rumah sendiri. Sekarang rumah itu sudah dijual karena kita pindah ke Serawai. Di Serawai ini kita hidup mulai dari nol lagi. Sampai rumah ini jadi. Bagi bapak, biar kecil yang penting rumah sendiri.”

“Apakah bapak puas dan bahagia?” tanyaku.

“Jelas. Bapak sangat bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan pada kita. Kalian berempat mampu bapak sekolahkan sampai perguruan tinggi. Terlebih lagi dua adikmu yang merelakan diri menjadi pelayan Tuhan. Suatu kebanggaan bagi bapak. Nanti, kalau kalian semua sudah berhasil, jadilah contoh untuk orang. Jadilah orang yang ringan tangan.”

Saya mengamini nasehat bapak. Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa kebahagiaan yang sederhana adalah ketika kita mampu bersyukur atas segala karunia yang Tuhan berikan pada kita. Jadi bersyukurlah agar bahagia. Jangan merasa bahagia dahulu baru bersyukur kemudian, karena bahagia itu sesederhana saat kita bersyukur.

1 komentar
Label: , ,

Imercy: Dari Buruh Bangunan Menjadi Buruh Tuhan!

Fr. Trio Kurniawan CM

Tak terasa, saya sudah menyelesaikan masa Imercy saya dengan menjadi seorang buruh di sebuah bangunan yang hampir selesai. Beberapa bekas goresan (luka kecil) masih tampak di beberapa bagian tubuh saya ketika saya memutuskan untuk segera menuliskan pengalaman kecil saya dalam kegiatan ini. Rasa letih pun masih memeluk tubuh saya ini dengan manja. Saya senang boleh mengalami ini semua. Imercy ini adalah pengalaman pertama untuk saya. Masih akan ada Imercy yang lain, asal saya tetap menjalani panggilan ini.

Saya menjadi seorang buruh bangunan, demikian perintah formator kepada saya. Apa yang saya bisa lakukan dengan menjadi seorang buruh bangunan? Bangunannya seperti apa? Jujur saja, saya tidak memiliki keterampilan apapun di bidang bangunan. Tapi toh saya harus berangkat, apapun alasannya. Saya kira ini wajar. Toh dalam hidup ini, ada banyak hal yang kita tidak mengerti, namun harus kita jalani. Kita seperti berjalan dalam kegelapan. Namun, kita harus tetap berjalan untuk menjadi tanda bahwa kita hidup. Hanya seorang penakut yang memilih untuk “mati” ketika berada dalam kegelapan hidup. Saya mencoba untuk mulai menikmati “perjalanan” kecil ini.

Ternyata, saya mendapat jatah kerja di bangunan yang nyaris selesai. Ada beberapa pekerja di sana: Pak Jemain (kepala tukang), Mas Jupar, Pak No, dan beberapa pekerja borongan yang menyelesaikan pembangunan kanopi. Para pekerja borongan ini selesai dua hari setelah kedatangan saya. Oh ya, saya bekerja di tempat ini bersama seorang konfrater, Galan. Dia kakak kelas saya di seminari tinggi. Saya bersyukur karena boleh bekerjasama dengan para tukang yang sangat bersahabat ini. Mereka semua adalah para tukang yang ceria, disiplin, dan beriman (paling tidak saya melihat bahwa mereka tekun menjalankan ibadah sholatnya). Bagi saya, mereka adalah guru tukang dan sahabat yang baik. Tidak ada hari tanpa tertawa. Saya, dan Galan, diterima dengan sangat baik di tempat ini. Saya mendapat tugas mengamplas dinding, mengecat, membongkar lantai atas, mengangkat semen, mengangkut beberapa sak batu, dan membersihkan tumpahan cat. Ini pekerjaan sederhana, dan sangat pas untuk pemula seperti saya. Beruntung bahwa mereka mengerti kalau saya masih sangat “awam’ untuk menjadi tukang.

Saya, dan Galan, tidur di bangunan yang belum selesai ini. Cuacanya dingin. Celakanya, kami berdua tidak ada membawa sweater sehelaipun. Terpaksa saya tidur dengan menggunakan selimut tipis dan celana pendek saja. Awal-awalnya berat karena saya menggigil terus. Namun, lama-kelamaan malah biasa. Saya tidur di atas selembar papan triplek dan potongan banner yang ternyata lebih pendek dari ukuran badan saya. Ini semua lebih dari cukup. Setiap pagi kami makan roti tiga lapis untuk menghemat uang makan. Siang dan sore baru kami makan di warung para buruh. Apa yang bisa saya katakan tentang makan siang kami? Gila! Porsinya benar-benar “maksimal”. Saya bahkan hampir tidak melihat pinggir piring yang saya gunakan. Bagi saya, porsi sebanyak ini tentu “aneh”. Apa perut saya mampu memakan makanan sebanyak itu? Tapi toh saya harus makan. Terlanjur sudah disiapkan. Saya berjuang “mati-matian” pada hari pertama untuk menghabiskan seluruh makanan ini. Selanjutnya, belajar dari pengalaman pertama, saya selalu memesan porsi khusus (hanya setengah piring) setiap kali makan. Itupun tetap terasa masih banyak. Untungnya, satu porsi di warung itu hanya 4-5 ribu rupiah.

Pada akhirnya, saya harus kembali ke seminari. Lha, kalau saya tidak pulang bagaimana? Apa saya jadi tukang terus? Belumlah. Saya masih perlu belajar banyak tentang dunia pertukangan. Saya pulang ke seminari masih dengan menggunakan pakaian kerja. Kotor dan lusuh, seperti badan saya. Berat badan, puji Tuhan, turun beberapa kilogram. Niat kecil saya tercapai. Saya membutuhkan 1 minggu untuk menurunkan beberapa kilogram tadi. Tapi, untuk menaikkannya di seminari, saya hanya membutuhkan beberapa hari saja. Celaka!

Apa “hal’ yang saya bawa pulang ke sminari dan kemudian menjadi milik saya? Pertama, ketika ada banyak hal yang masih “gelap”, belum dimengerti, tetaplah berjalan. Modal saya untuk terus berjalan, dalam pengalaman kecil ini, adalah bahwa seminari hendak membentuk saya menjadi seorang calon imam yang baik. Ketika hidup dalam masyarakat luas, modal hidup adalah iman. Hal ini terdengar abstrak dan terlalu divine (suci)! Namun, Siapa yang kita imani ini adalah dia yang dekat, yang seringkali hilang dalam kepanikan, kesibukan, kegalauan, dan 1001 dinamika hidup kita lainnya. Karena itu, biarkan Dia yang menjadi terang kita dalam kegelapan, lewat doa, kasih, dan kegembiraan sebagai sahabat Tuhan. Kedua, kegembiraan itu bukan hanya milik orang kaya! Namun juga bukan hanya milik orang miskin! Kegembiraan adalah milik orang-orang yang tahu berterima kasih karena selalu menyadari setiap pemberian Tuhan dalam hidupnya. Saya melihat dan mengalami kegembiraan ini dalam pribadi para tukang yang bekerja bersama saya di bangunan ini. Kami bergembira secara sederhana. Kami menertawakan kebodohan dan kehebatan kami sendiri. Kami menertawakan kelalaian dan keberhasilan kami secara jujur. Seringkali dengan mengatakan “miskin” ataupun “kaya”, kita secara tidak sadar (atau malah sadar) memojokkan satu pihak dan meninggikan pihak yang lain. Saya secara pribadi kurang setuju dengan term ini. Saya lebih senang menyebut setiap manusia sebagai orang! Dan ketiga, saya menyadari bahwa setiap orang masih membutuhkan selaksa pengalaman agar ia mampu menilai hidup cecara bijak dan mencintai manusia dengan Allah secara total. Hal-hal ini juga yang saya coba terapkan dalam menjalani panggilan, seorang "buruh Tuhan".

0 komentar
Label: , ,

Ketika Imanmu Membutuhkan Jawaban...

Trio Kurniawan
Manusia itu berziarah. Dia bergerak. Dia mencari. Apa yang ia cari tergantung dari bagaimana ia merumuskan tujuan hidupnya. Bahkan manusia yang mengatakan bahwa ia tidak memiliki tujuan hidupnya pun sudah dengan sendirinya memiliki tujuan hidup, yaitu: ketiadaan tujuan hidup.

Dalam peziarahan ini, manusia mencari Dia yang mengatasi segalanya. Dia adalah Yang Maha Tunggal, Tuhan. Oleh Anselmus, Tuhan adalah sesuatu yang daripada-Nya tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan sesuatu yang lebih besar lagi. Manusia mencari Tuhan yang menciptakan dirinya, karena oleh Dialah manusia ada. Dalam perjalanan sejarah manusia, Allah seringkali terasa begitu dekat, atau bahkan begitu jauh. Karena manusia pada hakekatnya adalah peziarah, maka tidak heran jikalau ia juga tersesat. Ia hilang. Ia terjatuh.

Namun, apakah yang membantu manusia untuk kembali ke jalan peziarahannya menuju Tuhan? Iman. Iman adalah “bahasa” yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Iman adalah jawaban dari segala macam kegelisahan hidup manusia. Karena imanlah maka manusia mengerti seluruh realitas hidupnya. Iman adalah “kacamata” bagi manusia yang berziarah untuk melihat realitas hidupnya, permasalahannya, pergumulannya, cintanya. Manusia seringkali mengalami kebuntuan dalam peziarahan hidupnya karena ia mencoba untuk mengerti terlebih dahulu realitas hidup tanpa mendalami imannya. Ia tersesat karena tidak memiliki “jalan”. Ia menangis karena Tuhan dikiranya menjauh dan meninggalkannya menderita sendiri. Ia mengalami kegalauan karena Tuhan yang Mahakuasa seolah-olah tidak berdaya untuk menolongnya sedikitpun.

Saya pun pernah mengalami kebuntuan dalam peziarahan hidup karena saya lebih mengandalkan kemampuan diri dan akal budi semata. Saya seperti burung yang patah sayapnya. Saya seperti padi yang tidak pernah diairi. Saya bahkan pernah merasa sebagai seonggok daging tanpa jiwa. Saya mati dalam saya yang hidup. Karena itu, saya bergumul. Saya bergulat dengan diri saya sendiri dan Tuhan. Dan pada akhirnya, saya menemukan iman sebagai “talenta” yang cukup lama saya timbun. Saya menemukan iman sebagai penerang jalan saya menuju Tuhan. Dan dengan iman saya yang sangat kecil ini, mata hati saya terbuka untuk menilai hidup secara lebih arif. Menilai realitas secara penuh kasih. Menilai permasalahan sebagai sahabat yang selalu berjalan seiring. Saya menyadari kedinamisan saya sebagai manusia. Karena itu, saya menyadari pula bahwa saya tetap bisa jatuh. Jalan masih sangat panjang untuk terus berziarah pada Tuhan dan manusia membutuhkan 1001 pengalaman untuk memantabkan imannya.
Maka, ketika imanmu membutuhkan jawaban…mulailah untuk beriman!

0 komentar
 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.