Label: , ,

Imercy: Dari Buruh Bangunan Menjadi Buruh Tuhan!

Fr. Trio Kurniawan CM

Tak terasa, saya sudah menyelesaikan masa Imercy saya dengan menjadi seorang buruh di sebuah bangunan yang hampir selesai. Beberapa bekas goresan (luka kecil) masih tampak di beberapa bagian tubuh saya ketika saya memutuskan untuk segera menuliskan pengalaman kecil saya dalam kegiatan ini. Rasa letih pun masih memeluk tubuh saya ini dengan manja. Saya senang boleh mengalami ini semua. Imercy ini adalah pengalaman pertama untuk saya. Masih akan ada Imercy yang lain, asal saya tetap menjalani panggilan ini.

Saya menjadi seorang buruh bangunan, demikian perintah formator kepada saya. Apa yang saya bisa lakukan dengan menjadi seorang buruh bangunan? Bangunannya seperti apa? Jujur saja, saya tidak memiliki keterampilan apapun di bidang bangunan. Tapi toh saya harus berangkat, apapun alasannya. Saya kira ini wajar. Toh dalam hidup ini, ada banyak hal yang kita tidak mengerti, namun harus kita jalani. Kita seperti berjalan dalam kegelapan. Namun, kita harus tetap berjalan untuk menjadi tanda bahwa kita hidup. Hanya seorang penakut yang memilih untuk “mati” ketika berada dalam kegelapan hidup. Saya mencoba untuk mulai menikmati “perjalanan” kecil ini.

Ternyata, saya mendapat jatah kerja di bangunan yang nyaris selesai. Ada beberapa pekerja di sana: Pak Jemain (kepala tukang), Mas Jupar, Pak No, dan beberapa pekerja borongan yang menyelesaikan pembangunan kanopi. Para pekerja borongan ini selesai dua hari setelah kedatangan saya. Oh ya, saya bekerja di tempat ini bersama seorang konfrater, Galan. Dia kakak kelas saya di seminari tinggi. Saya bersyukur karena boleh bekerjasama dengan para tukang yang sangat bersahabat ini. Mereka semua adalah para tukang yang ceria, disiplin, dan beriman (paling tidak saya melihat bahwa mereka tekun menjalankan ibadah sholatnya). Bagi saya, mereka adalah guru tukang dan sahabat yang baik. Tidak ada hari tanpa tertawa. Saya, dan Galan, diterima dengan sangat baik di tempat ini. Saya mendapat tugas mengamplas dinding, mengecat, membongkar lantai atas, mengangkat semen, mengangkut beberapa sak batu, dan membersihkan tumpahan cat. Ini pekerjaan sederhana, dan sangat pas untuk pemula seperti saya. Beruntung bahwa mereka mengerti kalau saya masih sangat “awam’ untuk menjadi tukang.

Saya, dan Galan, tidur di bangunan yang belum selesai ini. Cuacanya dingin. Celakanya, kami berdua tidak ada membawa sweater sehelaipun. Terpaksa saya tidur dengan menggunakan selimut tipis dan celana pendek saja. Awal-awalnya berat karena saya menggigil terus. Namun, lama-kelamaan malah biasa. Saya tidur di atas selembar papan triplek dan potongan banner yang ternyata lebih pendek dari ukuran badan saya. Ini semua lebih dari cukup. Setiap pagi kami makan roti tiga lapis untuk menghemat uang makan. Siang dan sore baru kami makan di warung para buruh. Apa yang bisa saya katakan tentang makan siang kami? Gila! Porsinya benar-benar “maksimal”. Saya bahkan hampir tidak melihat pinggir piring yang saya gunakan. Bagi saya, porsi sebanyak ini tentu “aneh”. Apa perut saya mampu memakan makanan sebanyak itu? Tapi toh saya harus makan. Terlanjur sudah disiapkan. Saya berjuang “mati-matian” pada hari pertama untuk menghabiskan seluruh makanan ini. Selanjutnya, belajar dari pengalaman pertama, saya selalu memesan porsi khusus (hanya setengah piring) setiap kali makan. Itupun tetap terasa masih banyak. Untungnya, satu porsi di warung itu hanya 4-5 ribu rupiah.

Pada akhirnya, saya harus kembali ke seminari. Lha, kalau saya tidak pulang bagaimana? Apa saya jadi tukang terus? Belumlah. Saya masih perlu belajar banyak tentang dunia pertukangan. Saya pulang ke seminari masih dengan menggunakan pakaian kerja. Kotor dan lusuh, seperti badan saya. Berat badan, puji Tuhan, turun beberapa kilogram. Niat kecil saya tercapai. Saya membutuhkan 1 minggu untuk menurunkan beberapa kilogram tadi. Tapi, untuk menaikkannya di seminari, saya hanya membutuhkan beberapa hari saja. Celaka!

Apa “hal’ yang saya bawa pulang ke sminari dan kemudian menjadi milik saya? Pertama, ketika ada banyak hal yang masih “gelap”, belum dimengerti, tetaplah berjalan. Modal saya untuk terus berjalan, dalam pengalaman kecil ini, adalah bahwa seminari hendak membentuk saya menjadi seorang calon imam yang baik. Ketika hidup dalam masyarakat luas, modal hidup adalah iman. Hal ini terdengar abstrak dan terlalu divine (suci)! Namun, Siapa yang kita imani ini adalah dia yang dekat, yang seringkali hilang dalam kepanikan, kesibukan, kegalauan, dan 1001 dinamika hidup kita lainnya. Karena itu, biarkan Dia yang menjadi terang kita dalam kegelapan, lewat doa, kasih, dan kegembiraan sebagai sahabat Tuhan. Kedua, kegembiraan itu bukan hanya milik orang kaya! Namun juga bukan hanya milik orang miskin! Kegembiraan adalah milik orang-orang yang tahu berterima kasih karena selalu menyadari setiap pemberian Tuhan dalam hidupnya. Saya melihat dan mengalami kegembiraan ini dalam pribadi para tukang yang bekerja bersama saya di bangunan ini. Kami bergembira secara sederhana. Kami menertawakan kebodohan dan kehebatan kami sendiri. Kami menertawakan kelalaian dan keberhasilan kami secara jujur. Seringkali dengan mengatakan “miskin” ataupun “kaya”, kita secara tidak sadar (atau malah sadar) memojokkan satu pihak dan meninggikan pihak yang lain. Saya secara pribadi kurang setuju dengan term ini. Saya lebih senang menyebut setiap manusia sebagai orang! Dan ketiga, saya menyadari bahwa setiap orang masih membutuhkan selaksa pengalaman agar ia mampu menilai hidup cecara bijak dan mencintai manusia dengan Allah secara total. Hal-hal ini juga yang saya coba terapkan dalam menjalani panggilan, seorang "buruh Tuhan".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.