Label: , ,

Ketika Imanmu Membutuhkan Jawaban...

Trio Kurniawan
Manusia itu berziarah. Dia bergerak. Dia mencari. Apa yang ia cari tergantung dari bagaimana ia merumuskan tujuan hidupnya. Bahkan manusia yang mengatakan bahwa ia tidak memiliki tujuan hidupnya pun sudah dengan sendirinya memiliki tujuan hidup, yaitu: ketiadaan tujuan hidup.

Dalam peziarahan ini, manusia mencari Dia yang mengatasi segalanya. Dia adalah Yang Maha Tunggal, Tuhan. Oleh Anselmus, Tuhan adalah sesuatu yang daripada-Nya tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan sesuatu yang lebih besar lagi. Manusia mencari Tuhan yang menciptakan dirinya, karena oleh Dialah manusia ada. Dalam perjalanan sejarah manusia, Allah seringkali terasa begitu dekat, atau bahkan begitu jauh. Karena manusia pada hakekatnya adalah peziarah, maka tidak heran jikalau ia juga tersesat. Ia hilang. Ia terjatuh.

Namun, apakah yang membantu manusia untuk kembali ke jalan peziarahannya menuju Tuhan? Iman. Iman adalah “bahasa” yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Iman adalah jawaban dari segala macam kegelisahan hidup manusia. Karena imanlah maka manusia mengerti seluruh realitas hidupnya. Iman adalah “kacamata” bagi manusia yang berziarah untuk melihat realitas hidupnya, permasalahannya, pergumulannya, cintanya. Manusia seringkali mengalami kebuntuan dalam peziarahan hidupnya karena ia mencoba untuk mengerti terlebih dahulu realitas hidup tanpa mendalami imannya. Ia tersesat karena tidak memiliki “jalan”. Ia menangis karena Tuhan dikiranya menjauh dan meninggalkannya menderita sendiri. Ia mengalami kegalauan karena Tuhan yang Mahakuasa seolah-olah tidak berdaya untuk menolongnya sedikitpun.

Saya pun pernah mengalami kebuntuan dalam peziarahan hidup karena saya lebih mengandalkan kemampuan diri dan akal budi semata. Saya seperti burung yang patah sayapnya. Saya seperti padi yang tidak pernah diairi. Saya bahkan pernah merasa sebagai seonggok daging tanpa jiwa. Saya mati dalam saya yang hidup. Karena itu, saya bergumul. Saya bergulat dengan diri saya sendiri dan Tuhan. Dan pada akhirnya, saya menemukan iman sebagai “talenta” yang cukup lama saya timbun. Saya menemukan iman sebagai penerang jalan saya menuju Tuhan. Dan dengan iman saya yang sangat kecil ini, mata hati saya terbuka untuk menilai hidup secara lebih arif. Menilai realitas secara penuh kasih. Menilai permasalahan sebagai sahabat yang selalu berjalan seiring. Saya menyadari kedinamisan saya sebagai manusia. Karena itu, saya menyadari pula bahwa saya tetap bisa jatuh. Jalan masih sangat panjang untuk terus berziarah pada Tuhan dan manusia membutuhkan 1001 pengalaman untuk memantabkan imannya.
Maka, ketika imanmu membutuhkan jawaban…mulailah untuk beriman!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.