Label: ,

Kisah Telur Ayam Malang di Atas Pohon Mangga



Rambang Ngawan
Aku sekarang berumur 22 tahun mudanya…hehehhe (12 Desember 2012 yg lalu adlh ultahku). Yah, kukira dengan umur seperti itu aku sudah boleh menceritakan cerita-cerita masa lalu. Beberapa cerita memang layak dibagikan karena menurutku mereka kedengaran konyol dan lucu. Aku punya satu cerita, terserah bagaimana menamakannya, yang kuanggap konyol dan lucu.


Ini sebenarnya rahasia Bapak (my Dad) dan aku. Tapi sudah lama terbongkar oleh Bapak bahkan ketika aku masih kecil (hahaha). Adek, itulah sapaanku di rumah. Nama ini nama keramat sehingga alaminnya hanya orang yang lebih tua dari aku yang boleh menyapa aku Adek; misallya Bapak, Mamak, Abang, Paman, Bibik, dan lain-lain. Namun anehnya, lelaki mungil yang keluar dari perut Mamak beberapa tahun setelah aku menyapa aku Adek. Dia adikku, Trio. Mungkin dia hanya menyerap informasi dari luar bagaimana orang-orang di sekitarnya menyapa aku. Mungkin saja dia cepat belajar. Aku sangat yakin kata pertama yang keluar dari mulut mungilnya ketika Trio mulai berkomunikasi dengan aku pasti sapaan keramat it, “Hai Adek.” Tapi itu tidak berlangsung lama ketika aku mengancam dia untuk tidak memanggilku Adek, karena kenyataannya aku ini ABANGNYA!…(hehehe child bullying.)


“Yo, sekali lagi kau panggil aku Adek, kutinju perut kau!” begitu ancamku.


Hahahah tentu saja dia takut karena aku lebih besar dari dia. Dan berhasil hahahahaha sorry ya Bro, aku harus melakukannya demi masa depanku hahaha. Sekarang dia memanggilku ‘abang tersayang’. Aku berhasil.


Tapi itu bukan cerita yang aku ingin bagikan. Bukan tentang Trio dan Adek, tapi tentang Bapak dan Adek. Cerita ini tentang pengalaman masa kecilku. Aku sudah lupa, mungkin ketika aku kelas 4 SD. Waktu itu kami tinggal di rumah kontrakan di Kembayan, Kabupaten Sanggau. Rumah itu rumah sederhana, berdinding papan, cukup besar buat kami sekeluarga dan ditambah lagi dengan tanaman hijau yang mengitari rumah, tidak ketinggalah satu pohon mangga setinggi 6 meter di depan rumah.

Siang itu, kulupa hari apa dan tanggal berapa, entah malaikat apa yang memasukiku, ketika orangtuaku sedang tidur siang, aku sibuk sja bermain sendiri di luar rumah. Aku bahkan sejak kecil adalah seorang yang senang berpetualang, dan siang itu kumulai pertualanga terbesar masa kecilku. Aku ingin melakukan sesuatu yang besar yang akan menggegerkan dunia science dan teknologi. Aku akan melakukan percobaan terbesar sepanjang masa yang mungkin mengalahkan rekor pendaratan manusia pertama di bulan yang dilakukan oleh Neil Amstrong. Jika percobaanku berhasil, aku akan patenkan penemuanku, akan di diberi penghargaan Nobel Prize dibidang ilmiah dan keluargaku akan menjadi kaya dan termasyhur. Begitulah kira-kira yang berputar di otak seorang Adek berumur 9 tahun. Dan tahukah kau apa percobaan terbesarku itu? Aku akan buktikan bahwa telur ayam yang diletakkan dia tas pohon mangga juga bisa menetas jika dierami oleh burung-burung di udara. Luar biasa bukan.

“Aha! ada telur ayam di bawah kolong,” pikirku gembira. 

Selain guru Bahasa Inggris di SMA, bapak juga dulu adalah peternak ayam kecil-kecilan. Kami juga punya beberapa hewan piaraan lainnya seperti anjing dan bebek. Tidak ada kucing karena mama tidak suka kucing. Peternakan kecil-kecilan itu cukup berhasil karena satu induk ayam baru bertelur beberapa hari sebelumnya. Jumlah telurnya lumayan banyak, belasan kukira. 

“Akan kupakai telur-telur ayam ini buat percobaanku..hehehe ” candaku dengan liciknya. 

“Ini kejutan terbesarku buat Bapak, dan aku yakin Bapak pasti bangga,” candaku lagi. 

Entah mengapa aku memilih kejutan ini untuk bapak, bukan mama. Mungkin saja aku lebih dekat dengan bapak waktu kecil dulu. Bapak sering menimang aku sebelum tidur waktu dulu. Kata-kata timangan bapak aku masih ingat sampai sekarang, meskipun bapak sudah tidak menimang aku lagi…hahahha (malu dong kalau ditimang terus, kan udah besar). 

“Hehe, mumpung Bapak masih tidur siang, aku bisa memulai aksiku,” pikirku lagi. 

Lalu aku dengan santainya merangkak ke bawah kolong rumah menuju kandang ayam yang bapak buat sederhana untuk ayam-ayamnya. Apakah aku takut akan ketahuan bapak dan dimarahi? Kurasa pertanyaan seperti itu tidak terlintas di benakku, aku hanya sedang sibuk dengan pertualanganku. Apakah induk ayamnya akan menyerang aku nantinya? Masa bodoh pikirku, akan aku ambil secara paksa. Apapun resikonya, yang penting percobaan terbesar di duniaku bias berhasil.


Telur-telur ayam beserta dengan tadahannya sudah di tanganku. Langah pertama berhasil, mengambil paksa telur ayam dari induknya..hehehe. Langkah kedua, Aku harus panjat pohon mangga ini dan meletakkan telur-telur ayam ini di atasnya, pikirku licik. Sementara Bapak dan Mamak masih tertidur lelap. Panas siang hari lumayan menyengat. Kumulai memanjat pohon mangga itu pelahan-lahan dengan beberapa telur ayam bersamaku. Kaki-kaki kecilku dengan mudahnya memanjat pohon mangga itu tanpa menjatuhkan satu butirpun telur ayam yang kubawa bersamaku. Sesampainya di atas, kupilih tempat yang stategis supaya bisa kuletakkan telur-telur ayam tersebut. 

“Hehe, berhasil. Tingal kasi kejutan terbesar buat bapak…hehe,” tawaku di ats pohon sendiri, persis seperti anak orangutan yang sedang gembira.


Kumasuk ke kamar Bapak dan Mamak perlahan-lahan. Kulihat mereka sedang tertidur lelap. “Pak, Pak, bangun,” bisikku perlahan-lahan di telinga Bapakku sambil menggerakkan badannya lembut. Ku tak mau Mamak sampai terbangun karena kejutan ini hanya buat Bapak. “Hemm,” tanya Bapakku setengah sadar. “Ada telur burung di atas pohon mangga besarnya seperti telur ayam. Adek baru lihat tadi waktu sedang manjat. Ayo, lihat,” kataku bersemangat mengajak Bapak. 

Bapakku pun bangun deri tempat tidurnya dan berjalan di belakangku sedikit lambat. Aku sudah tidak sabar lagi menunjukkan bapak fenomena terbesar di dunia, percobaanku, hasil kerja kerasku siang itu, dan sebentar lagi ini akan menjadi kebanggaan keluargaku, keluarga Ngawan yang terhormat. “Hahaha, berhasil,” sorakku dalam hati.


Akhirnya kami berdua berdiri tegak dia atas pohon mangga itu. “Itu Pak, di atas,” kataku kepada Bapak mengajaknya untuk manjat. Kami mulai memanjat, aku yang memimpin. “sedikit lagi Pak,”kataku bersemangat. Kami hampir dekat dan aku sangat yakin Bapak pasti senang dengat kejutanku. Kami sudah sampai. Inilah saatnya. 

“Itu Pak, telur burung yang Adek bilang, mirip telur ayamkan,” aku meyakinkan Bapak dengan riangnya. 

Kulihat warna wajah Bapak berubah, keningya berkerut, ia tiba-tiba kelihata segar dari tidurnya. Aku menjadi heran. Berhasilkah kejutanku untuk meyakinkan Bapak akan percobaanku. Banyak pertanyaan mengitari otakku. Berhasilkah aku?


Bapak turun dari pohon mangga cepat-cepat. Sesampainya di tanah Bapak kelihatan berlari menuju kandang ayam tercinta. “Wah gawat ni, Bapak pasti tahu itu telur ayam. Aku pasti dimarahi lagi ni,”pikirku gugup. Badanku mulai gemetaran. Aku terasa ingin jatuh. Aku yaki Bapak pasti marah (asal tahu aja, Bapakku itu dulu orangnya garang). Kulihat Bapak dari kejauhan memeriksa isi kandang ayamnya. Aku yakin, yang Bapak temukan pasti hanya induk ayam yang juga kebingungan telur-telurnya telah dibawa kemana oleh pencuri kecil berumur 9 tahun. Aku semakin gugup. Tiba-tiba kulihat Bapak tertawa, “HAHAHAHAHAH.” “Ada apa ini?” aku keheranan. “HAHAHAHAH,” lanjut Bapakku tertawa.


Singkat cerita, percobaan kuberhasil. Bapak tidak marah tetapi terus saja tertawa. Aku lega. Aku tidak jadi dihargai dengan Nobel Prize dibidang Ilmiah karena setelah beberapa hari beberapa telur-telur ayam tersebut membusuk karena sudah kupegang. Ketika mama terbangun, Bapak menceritakan kejutan yang dia dapat dari aku ke mama dan mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Mulai dari saat itu sampai sekarang, Bapak terus saja menceritakan cerita ini kepada aku, keluargaku yang lain dan beberapa orang yang ia ingin cerita ini mereka ketahui. Ketika aku liburan kemarin ke Indonesia, Bapak juga menceritakan cerita ini kepadaku. Apakah aku masih ingat? Tentu saja, karena aku berada di TKP. Kami tertawa terbahak-bahak bersama, aku tersenyum mengenang masa kecilku. Jika Bapak dan Mamak saja yang tinggal di rumah karena kami anak-anak sudah belajar jauh di kota, Bapak akan menceritakan lagi cerita ini kepada mama untuk melepas rindu mereka kepada kami. Aku yakin mereka pasti tertawa, mungkin juga menangis. Mamak selalu bilang sama aku, “Dek, kalu Bapak sedang rindu kalian, pasti dia akan ceritakan kisah-kisah lucu kalian waktu kecil dulu.” Aku tersenyum saja ketika Mamak mengatakan itu.   


Kini aku sadari ternyata aku yang mendapatkan kejutan. Aku terkejut ternyata Bapak tidak marah kepadaku saat dia tahu bahwa telur ayam biasa saja ada di atas pohon. Aku terkejut mengetahui kalau Bapak sedang rindu kami, ia pasti akan cerita masa lucu kami dulu. Aku terkejut bahwa Bapak adalah lebih daripada apa yang aku ketahui tentang beliau waktu kecil dulu. Aku terkejut mengetahui bahwa sampai sekarang Bapak masih saja mengendarai motor buntotnya untuk menjalankan tugas melalui jalan panjang berlubang ke Sintang. Aku terkejut mengetahui bahwa Bapak tetap saja sabar menjalani hidup sederhananya sebagai mantan guru. Aku terkejut karena Bapak selalu member kejutan kepada aku. Banyak kejutan dan akan terus datang. Namun aku tidak akan pernah terkejut mengapa Bapak selalu saja menjadi inspirasiku.


Itulah ceritaku, cerita tentang “Kisah Telur Ayam Malang di Atas Pohon Mangga.” Cerita yang akan selalu menjadi harta hidupku. Oh ya telur ayam, maaf ya atas kecerobohanku. Kukira kalian bisa dierami sama burung2 di udara..sorry ya…hehehehhe



(tulisan dari Rambang Ngawan)

1 komentar:

  1. Sebagai anak umur 9 tahun, itu merupakan pikiran yg cerdas. Coba saya waktu umur 9 tahun, yg ada di pikiran saya cuma bagaimna cara masak telur goreng yang enak. :D

    BalasHapus

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.