Label: ,

Orang Miskin Banyak yang Tidak Bisa Makan

Ini bukan sebuah tulisan besar. Ini (dalam dunia filsafat) hanyalah sebuah noktah kecil di tengah lautan filsafat yang sangat luas...

Saya memulai tulisan saya tentang Filsafat Aku dan Liyan (dalam buku Prof. Armada Riyanto: Filsafat Aku dan Liyan) dari pengalaman kecil bersama dengan sahabat-sahabat saya di meja makan sebuah restoran kecil (tengah kota Malang). Saat sedang makan, saya bertanya: "apa alasan kalian mau menghabiskan makanan ini?" Jawabannya beragam: lapar, makanannya enak, tanggung udah disiapkan, dll. Namun ada satu jawaban yang cukup mengejutkan saya. "...kasihan orang miskin banyak yang nggak bisa makan..." Mengapa saya terkejut? Jawaban ini mungkin ingin menunjukkan sikap empati mendalam (jika saya boleh membahasakannya demikian). Namun bagi saya, jawaban ini sangat tidak realistis dan, yang cukup menyedihkan, justru semakin memojokkan para saudara saya yang miskin dan menderita. Mengapa saya bisa mengambil kesimpulan seperti itu?

Saya akan mengolahnya dari sudut filsafat "Aku dan Liyan". Sebenarnya, siapakah yang disebut "orang" itu? Siapakah manusia? Manusia tidak bisa direduksi hanya pada batasan kebenaran informatif belaka (nama, alamat, jenis kelamin, latar belakang keluarga, cara berelasi, cara berpikir, dll). Jika demikian, siapakah manusia itu? Manusia adalah dia yang memiliki kesadaran akan "aku". Kesadaran "aku" adalah kesadaran akan realitas "aku" sehingga menjadi ada. Kesadaran akan "aku" adalah kesadaran akan seluruh kemanusiaanku (tubuh, jiwa, cara berpikir, cara merasa, cara mencinta, cara menyentuh, dll.). Lalu, siapakah/apakah yang merupakan bukan aku? Jika aku mengandaikan keseluruhan, kesatuan, integritas, maka yang bukan aku adalah bagian per bagian dari aku. Yang bukan aku adalah sisi parsial dari keseluruhanku. Tanganku bukanlah aku walau tangan adalah bagian dari aku.

Kesadaran akan "aku" milik manusia ini sungguh-sungguh tinggi karena ciptaan lain tidak memilikinya. Hal inilah yang membedakan manusia dengan mereka (semua ciptaan lain). Karena kesadaran akan "aku" inilah maka Teori Evolusi Charles Darwin menjadi sangat ABSURD! Berharganya kesadaran akan "aku" ini tampak dalam relasi manusia dengan Sang Aku sejati. Ingat, dalam Kitab Keluaran, Allah "menamakan" diri-Nya sebagai "Aku adalah Sang Aku". Karena sama-sama memiliki kesadaran inilah (walau "Aku" Tuhan mutlak superior atas "aku" manusia) maka manusia dapat berelasi lebih dekat dengan Sang Aku.

Karena relasi khusus ini, maka setiap manusia dari adanya adalah luhur dan sama. Tak ada tempat untuk kelas atas ataupun kelas bawah.Jika manusia adalah demikian adanya, lantas siapakah liyan?

Liyan adalah terminologi dalam bahasa Jawa yang berarti orang lain. Namun, dalam ranah filsafat, liyan berarti orang yang disingkirkan, ditindas, dianiaya. Liyan adalah manusia yang dikecilkan kodrat kemanusiaannya. Dalam jaman Plato, Liyan berarti orang yang hidup di luar tatanan polis (sehingga disebut bangsa Barbar atau alien). Dalam jaman modern, Liyan adalah orang yang kurang berpengetahuan, kurang berpendidikan, sehingga ia tidak bisa mencipta dan berpikir. Ini adalah "ulah" dari filsafat Cartesia, Cogito Ergo Sum! Pada jaman kaum penganut ideologi (Marxis, Hitler, dkk.), Liyan berarti orang yang berseberangan dengan ideologi ciptaan sang diktator, tiran, sehingga layak untuk dibunuh, disiksa, ditelanjangi kemanusiaannya.

Akhirnya, siapakah liyan di jaman globalisasi ini? Liyan adalah orang-orang kecil yang kalah dalam persaingan ekonomi dan IPTEK. Liyan adalah orang-orang yang tergusur hak-hak kemanusiaannya sehingga menjadi pelacur, pengemis, dll. Liyan adalah orang miskin. Karena itu, kata "kasihan" sungguh menggambarkan peng-liyan-an orang lain, orang miskin. "Kasihan" mengandaikan bahwa yang berbicara ada di atas/di bawah lawan bicara. Karena itu, ganti kata "kasihan" dengan "kasihi". Lihatlah manusia sebagai manusia. Kasihilah manusia bukan karena kemiskinannya, namun karena manusia adalah manusia. Dan, santaplah nasi karena nasi. Lauk karena lauk. Sayur karena sayur. Karena mereka adalah anugerah dari Tuhan. Saya kira itu lebih realistis. Thanks!

Sumber: Buku "Filsafat Aku dan Liyan" oleh Prof. Armada Riyanto et al.

(tulisan dari Trio Kurniawan)

2 komentar:

  1. Waktu baca yg bagian awal2nya sih langsung tertarik. Tapi, lama2 kok jadi bkin bingung. Saya jadi bingung bacanya. Mungkin karena pengaruh umur kali y.. hehehe. Maklumlah klo yg baca orangnya msih bocah =D

    BalasHapus
  2. Hahaha.... Nggak apa2 kalau bingung! Saya juga (yang nulis) bingung pada awalnya... :)

    BalasHapus

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.