Label:

Bapakku dan Jalan 200 km

Jam dinding menunjukkan pukul 22.22. Malam ini agak dingin karena hujan di luar belum juga berhenti. Biasanya hujan disaat seperti ini aku selalu tergoda untuk segera tidur. Tapi sekarang, tak ada kantuk sedikitpun.

Kamar ini aku hanya ditemani televisi. Selain suara hujan di luar. Sesebentar terdengar suara motor berlalu di depan kamar. Lalu bergantian dengan suara mangkok khas mamang bakso. Lepas itu sepi lagi.

Botol-botol bekas minuman ringan berserakan di lantai. Sekotak martabak spesial hampir habis separuh kumakan. Baju-baju kotor bertumpukan di dalam keranjang di sudut kamar. Sebagian menggantung di balik pintu.

Aku berbaring malas di tempat tidur. Ini sangat membosankan. Hidupku maksudku. Aku teringat skripsiku yang belum juga kelar. Aku menyalahkan hasratku, motivasiku untuk hal ini. Aku terlalu memanjakan rasa malasku. Aku teringat kata si Joni,”Dul (hanya dia yang berani memanggilku Dul), skripsi itu harus sering kau intimi.” Demi Tuhan, ini ucapan cerdas yang pernah kudengar. Tapi tetap saja skripsi itu tak kuintimi.

Lupakan si Joni dan skripsi. Kuambil handphone,membuka pesan masuk yang belum sempat terbaca. Ada pesan dari Bapakku.

“Bapak mau ke Tebidah lagi, monitor pelaksanaan ulangan di SMP dan SMA”. Begitu bunyi pesan dari bapak.

“Wah, ndak ada istirahat ya pak. Sendiriankah?” balasku.

“Iya. Bapak sekarang dibayar untuk kemana-mana.” Jawab bapakku.
Ya, begitulah Bapak. Jawabannya selalu singkat padat dan jelas. Terkadang menohok ke jantung. Entah kenapa ada rasa bersalah padaku membaca jawaban bapak itu. Mungkin rasa bersalah karena belum juga wisuda.

Lalu aku teringat kebun karet Bapak. Biasanya bila tak betugas bapak kantornya berpindah di kebun karet ini. Liburan terakhir aku hanya sempat membantu membersihkan rumput-rumputnya. Kutebas dengan mesin rumput. Itupun tak sampai separuh. Oh iya, Natal tinggal 13 hari lagi. Liburan.

”Sepulang dari Tebidah tadi Bapak bawa motor sambil ngantuk. Bapak sadar karena terkejut berlintasan dengan truk ditanjakan sebelum Kelam. Mungkin Bapak kecapekan karena kurang istirahat dan tidur sejak dua hari yang lalu. Bapak bawa motor terus.” Ini bunyi satu pesan Bapak.

Tentang motor itu, bapak punya banyak kisah. Sebenarnya Bapak mengharapkan motor dinas tapi sampai saat ini belum juga diberi. Harapan Bapak dengan motor dinas itu hanya satu, meringankan perjalannannya. Di kota, teman-temannya sejabat juga mendapatkan motor dinas itu. Menurut bapak, seharusnya dia juga dapat.

Okelah, aku cerita sedikit. Bapak sebelumnya adalah seorang kepala sekolah disuatu SMA. Tempat bapak bertugas itu jaraknya 200 km dari kota kabupaten. Lumayan jauh. Iya. Itu jarak yang biasa bapak tempuh dengan sepeda motor buntutnya. Jangan kau bayangkan jalan yang mulus, kau hanya bermimpi. 200 km itu hampir 80 persen adalah jalan tanah. Jalan itu kering berdebu, hujan becek. Jalan 200 km itu tak pernah diperhatikan. Sudah berapa caleg, bupati, bahkan gubernur yang menjabat, namun jalan itu tetap sama. Tanah.

Saat liburan, ketika aku pulang ke rumah, bapak selalu cerita kalau dia bosan melewati jalan 200 km itu. “Bisa jadi bapak ini raja jalanan, karena sering hilir mudik dengan jalur itu. Lama-lama bapak bosan juga. Tapi demi tugas mau gimana lagi. Badan bapak sudah tak sekuat dulu.” begitu kata bapakku. Aku diam saja. Aku mengerti perasaan bapak.

“Seandainya jalan itu mulus beraspal, pasti bisa lebih mudah. Tapi itu mimpi, entah kapan jalan itu mulus.” Lanjut Bapakku.

Suatu hari aku marah sama Bapak. Sebab motor dinas itu lah. Perasaanku tak nyaman ketika melihat bapak meminta diberi motor dinas pada para pejabat itu. Sebab percuma, motor itu tidak akan diberi. Aku tahu itu. Biarlah tetap dengan motor buntut itu. Sampai sekarang, bapak tak pernah lagi berbicara tentang motor dinas.

***
Hujan sudah berhenti. Waktu menunjukkan pukul 23.20. sudah tengah malam. Kantuk sudah mulai menjalar keujung mata. Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ada pesan masuk dan itu dari Bapak. Kubaca pesan itu, aku terkejut, seumur-umur baru kali ini bapak mengirimiku sebuah puisi. Puisi ini menghujamku jantungku.

Aku.

Aku adalah aku.

Seharusnya aku besar karena aku, usahaku, kerja kerasku.

Tapi aku tidak berbuat untuk diriku.

Hanya karena kamu aku sebesar ini tapi aku mangatakannya  karena aku.

Anehnya kehancuranku aku yang buat dan aku tahu

Tapi aku pura-pura tidak tahu karena aku tahu kamu akan menjadi korbanku.

Itu karena egoisku, nafsuku..

Tapi adilkah aku?

Jujurkah aku?

Terhadap aku dan kamu?

Sajak Berjudul Aku


***

1 komentar:

  1. Sampaikan salamku untuk pak F.X. Ngawan guru Bhs Inggris ku dulu di SMUN 1 Kembayan.
    Salam.
    Fr. Andreas Harmoko, OFMCap

    BalasHapus

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.