Label:

Hujan Rasa Coklat





Dhuarrrr….!! Kilat disertai suara guntur mengelegar di atas atap warung tempatku berteduh. Hujan sudah sejak tiga jam lalu ini semakin deras. Parit dan jalan pun sudah lama tergenang air. Pohon-pohonan tampak sendu, basah kuyup kedinginan. Aku duduk di sudut bangunan.

Dingin dan beku, itu yang aku rasakan. Duduk sendiri ditemani tempias air yang menyelinap dari balik dinding. Secangkir kopi susu tak cukup jadi teman. Sementara di sudut lain beberapa gerombolan perempuan asik bercanda bersama teman-temannya. 

Tentang hujan ini ingatanku seakan terbang kemasa kecilku. Hujan saat itu merupakan kebahagiaan. Hujan itu perosotan. Hujan itu sepakbola. Hujan itu dingin. Hujan itu pasti dimarah bapak. Hahahaha...

Meskipun begitu, aku dan adik-adikku tetap tidak peduli. Biar bibir membiru karena dingin. Hujan ya hujan.
Itu hujan dulu, lain sekarang. Hujanku sepi. Di sudut warung ini, kedinginan, aku teringat kepada adik-adikku. Mereka jauh. Dan pasti kami tidak mungkin bermain hujan lagi. Dan bapak tidak akan marah-marah lagi.

Sekarang hujanku adalah hujan rindu. Hujan rasa coklat, seperti kesukaan kami waktu kecil dulu.

1 komentar:

  1. ternyata setelah kita besar pasti akan mengingat kembali tentang masa kecil, apalagi tentang memori yg "manis seperti coklat". Jadi merasa sedikit menyesal nih krna udah berlaku galak sm adek2 dan meninggalkan mereka saat umur kami masih segini.

    BalasHapus

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.