Label: , ,

Saya Loyal Terhadap Negara! (Sebuah catatan kritis) I




Tulisan ini saya sebut sebagai sebuah catatan KRITIS. Mengapa kritis? Karena catatan ini lahir dari sebuah kegelisahan yang saya rasakan tentang negara dimana saya lahir dan hidup hingga saat ini. Kritis mengandaikan sebuah sikap yang tidak mudah percaya akan apa yang dianggap benar, jeli dalam analisis, dan (dalam bahasa negatifnya) pandai mencari kesalahan ataupun kekurangan dari suatu hal. Lewat catatan singkat ini, saya ingin menyampaikan sikap kritis saya terhadap “fakta Indonesia” yang terus berjalan sampai saat ini dan bagaimana saya terus menjaga KEINDONESIAAN saya sendiri. Keindonesiaan sendiri berarti “rasa” yang saya miliki, yang berkaitan dengan perihal Indonesia. Keindonesiaan yang saya anut adalah sebuah sikap nasionalisme kritis. Sikap kritis juga mutlak diperlukan jika manusia dan segala peradaban kemasyarakatannya ingin berkembang dalam jalur yang tepat. Saya sendiri meyakini bahwa Indonesia saya ini memerlukan banyak orang muda yang kritis. Dan saya berharap bahwa saya bisa ikut ambil bagian dalam kelompok ini.

Hidup yang tidak pernah direfleksikan tidak layak untuk dijalani

Pernyataan ini adalah ungkapan yang paling terkenal dari Sokrates. Saya mengamininya! Hidup memerlukan sebuah refleksi. Analogi yang paling tepat untuk membahasakan refleksi adalah apa yang terjadi dalam sistem kerja cermin. Dengan cermin manusia bisa melihat dirinya secara jelas, tergantung dari seberapa bersih cermin yang ia gunakan dan cahaya yang masuk. Demikian juga halnya dengan refleksi. Semakin bersih cerminan yang kita gunakan, semakin jelas hasil yang kita lihat. Cahaya yang menerangi sebuah refleksi adalah kejujuran akal budi manusia.

Dalam catatan kritis ini, saya ingin berefleksi tentang Indonesia dan keindonesiaan yang saya miliki. Lalu cermin mana yang saya gunakan? “Cermin” itu adalah Bapak saya yang merupakan seorang guru biasa di pedalaman Kalimantan Barat. Ada beberapa alasan yang pantas saya utarakan mengapa saya memilih Bapak dan bukan orang lain. Pertama, Bapak adalah seorang guru yang menurut saya bertanggung jawab atas masa depan begitu banyak orang muda. Tanggung jawab (Bapak sering menyebut tanggung jawab ini sebagai sebuah panggilan hidupnya) ini menuntut suatu sikap hidup yang patut diteladani. Sejauh yang saya amati dan alami, Bapak sangat memenuhi kriteria ini. Kedua, walaupun sebagai seorang guru biasa, kegiatan sehari-hari yang beliau jalani baik sebagai guru maupun kepala keluarga menyentuh sendi-sendi nilai dan sistem yang menyokong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketiga, Bapak hidup di daerah yang bisa dikatakan terpencil. Serawai. Kampung ini terletak nun jauh dari hiruk pikuk Jakarta sebagai ibu kota negara. Apa artinya? Setiap perubahan sosial-ekonomi-budaya yang terjadi di Serawai sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana perubahan yang terjadi di pusat. Sederhanannya: jika sebuah kampung yang terpencil seperti Serawai saja sudah sangat modern, apalagi Jakarta! Itulah beberapa alasan mengapa saya memilih Bapak, lengkap dengan tempat hidupnya, sebagai cermin bagi saya untuk mengkritisi Indonesia dan keindonesiaan yang saya miliki. Keduanya, bagi saya, “cukup bersih” untuk dijadikan sebagai cermin untuk berefleksi atas Indonesia.

Tujuan dari catatan kritis ini bagi saya sederhana saja. Pertama (dan pertama-tama),  saya ingin menjadi orang muda Indonesia yang sadar akan situasi Indonesia dimana saya hidup di sini dan saat ini. Kesadaran ini pada akhirnya memberi jalan bagi saya untuk masuk ke ruang publik dimana saya bisa mencintai Indonesia lewat pekerjaan apapun yang saya jalani. Saya tidak ingin menjadi seorang manusia yang hanya “tidur nyenyak” dalam situasi yang terus berubah saat ini. Saya bukanlah “pecundang” untuk negara sebesar ini. Inilah dimensi nasionalisme kritis yang saya maksudkan. Kedua, saya hanya ingin orang-orang yang membaca catatan kritis ini menyadari kenyataan seberapa baik atau buruknya Indonesia ini. Saya percaya bahwa untuk berubah ke arah yang lebih baik, setiap orang atau lembaga harus sadar diri. Mungkin saja kesadaran ini dimulai dari sini. Ketiga (dan terakhir), saya ingin juga bahwa setelah membaca catatan ini, Anda bisa menentukan sikap apa yang Anda ambil atas Indonesia dan keindonesiaan yang melekat pada diri Anda. Singkatnya saya melihat, menyadari, dan mengambil sikap.

Pendidikan

Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, Bapak adalah seorang guru. Beliau guru untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. Ketika tulisan ini dibuat, Bapak sedang menjabat sebagai seorang pengawas (sebelumnya beliau menjabat sebagai kepala SMA). Walaupun jabatannya sebagai kepala sekolah ataupun pengawas, Bapak tetap menganggap dirinya sebagai guru, sang pendidik. Sebelas tahun yang lalu, Bapak bertugas sebagai guru di SMAN 01 Kembayan, Kabupaten Sanggau. Ketika pengangkatan kepala sekolah bapak memutuskan untuk ditempatkan di Kecamatan Serawai. Saya masih ingat saat itu masih gencar isu “putera daerah”. Saya ajak Anda untuk mendalami makna kata “putera daerah”.

Indonesia sudah 67 tahun merdeka. Tapi sungguh lucu bahwa warisan politik divide et impera yang ditanamkan oleh kaum feodal dulu masih tampak nyata hingga saat ini. Manusia Indonesia masih hidup dalam bingkai kesukuan. Saya (atau kita, mungkin) masih memegang asas primordialisme sebagai bingkai dalam bertindak. Apa yang Bapak dan mungkin guru-guru lain alami ini barulah secuil contoh. Jika mata kita mau dibuka lebih lebar dan hati kita mau melihat secara lebih jernih, kerangka pikir primordialisme ataupun etnosentrisme ini masih mengurat dan mengakar di dalam hidup bangsa Indonesia. Memang di satu sisi segala macam kebudayaan, tradisi, ataupun kearifan lokal yang ada di dalam suatu suku haruslah tetap dijaga dan dilestarikan. Namun tidaklah tepat jika pilihan orang untuk sebuah jabatan yang mengatasi begitu banyak jiwa manusia harus didasarkan pada sikap primordialisme ini. Seorang pemimpin yang baik adalah pribadi yang mampu mencintai orang yang dipimpinnya, bijaksana serta memiliki kualitas hidup yang tepat sebagai seorang pemimpin; entah dari mana ia berasal.

Balik lagi ke dunia pendidikan. Pada umumnya, saya merasakan bahwa kegiatan menuntut ilmu di kabupaten Sintang ini sudah cukup baik. Saya tahu ini karena saya dulu juga bersekolah di sana. Khusus untuk di daerah Kota Sintang, persaingan antar sekolah sangat terasa. Dinas Pendidikan Sintang juga, setiap tahun, selalu mewadahi semangat belajar para siswa yang ingin berlomba dalam kegiatan Olimpiade Sains Nasional (OSN), Cerdas Cermat tingkat Kabupaten, English Debate and Public Speaking, dan masih banyak lagi. Secara keseluruhan memang tampak usaha dari Dinas Pendidikan Sintang untuk memajukan pendidikan di daerah binaannya. Di sisi lain dari apa yang baik itu, masih bisa kita jumpai sekolah-sekolah yang jauh lebih di pedalaman lagi, yang masih sangat memrihatinkan keadaannya. Ada sekolah yang gurunya hanya satu untuk melayani sekian banyak murid. Ada juga yang gurunya tidak jelas keberadaannya pada jam mengajar, kecuali pada saat pengambilan gaji. Ada murid yang harus berjalan dan menyeberangi sungai agar bisa sampai ke sekolah. Gaji para guru juga sangat menyedihkan bila dibandingkan dengan biaya hidup di Sintang (atau Serawai) yang sangat mahal, sehingga ada beberapa guru yang memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi biaya hidupnya. Akibatnya, tugas-tugas sekolah pun ditinggalkan. Inilah pendidikan “dua wajah” dimana Bapak bekerja dan melayani.

Hal yang paling mengerikan bagi saya di dalam lembaga pendidikan dimana Bapak bekerja adalah apa yang saya sebut sebagai KORUPSI! Pada awalnya, sebagai seorang murid yang polos, saya percaya bahwa lembaga resmi di Indonesia yang tidak tersentuh dari korupsi adalah pendidikan dan agama. Pada akhirnya kepercayaan saya pada dua lembaga ini tercoreng. Lembaga Kementrian Agama justru malah melakukan korupsi dalam kasus pengadaan Alquran. Demikian juga dengan lembaga pendidikan. Sebelumnya, saya sengaja menggunakan istilah “lembaga pendidikan” untuk membedakannya dengan kata “pendidikan” itu sendiri. Dengan kata “lembaga” dimaksudkan adanya sistem atau struktur yang mengatur kegiatan pendidikan itu. Lembaga pendidikan tidak lepas dari “racun maut” korupsi! Bapak, sebagai seorang kepala sekolah, melihat dan mengalami bagaimana mudahnya undangan untuk melakukan korupsi di instansi dimana ia memimpin. Kegiatan sekolah tidak bisa lepas dari proyek-proyek. Dengan adanya “proyek pendidikan’, semisal pembangunan rumah guru ataupun pengadaan sarana belajar, tentu ada orang-orang yang berlomba untuk memenangkan tender. Dan inilah pintu gerbang bagi racun korupsi sehingga bisa masuk ke instansi pendidikan. Ada kongkalikong dan suap menyuap. Mengerikan! Dan Bapak sebagai seorang guru biasa, yang mengerti bahwa tugasnya adalah mendidik akhlak dan kecerdasan siswa, menolak semua praktek tersebut. Itulah sebabnya ada banyak proyek yang mundur dari instansi yang Bapak pimpin. Prinsip beliau: jika ingin membantu sekolah, gunakan cara yang benar dan jujur. Dan tidak heran bahwa gaya hidup dan harta benda yang Bapak miliki tidaklah memadai untuk jabatan seorang kepala sekolah golongan IVa. Beliau makan dan menghidupi anak-anak serta isterinya lewat gaji yang ia terima. Sepeda motor yang ia gunakan pun merupakan hasil cicilan. Sampai tahun 2011, tidak ada televisi ataupun kulkas di dalam rumah kami.

Suatu hari, Bapak diundang ke Pontianak untuk mengadakan rapat antar kepala sekolah di seluruh Provinsi Kalimantan Barat. Di akhir rapat itu, diadakan pembicaraan “dadakan” tentang pengadaan komputer di sekolah-sekolah. Bapak dan juga kepala sekolah yang lain ditawarkan untuk menerima proyek ini dengan dana 100 juta. Uang ini akan melewati “meja” di Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten, dan baru kemudian kecamatan. Dari hasil kalkulasi, nominal yang murni diterima oleh kepala sekolah adalah 75 juta. Celakanya, Bapak dan kepala sekolah lain harus tetap mempertanggungjawabkan dalam laporan keuangan sebesar 100 juta. Terang-terangan Bapak menolak proyek tersebut. Oleh karena penolakan itu, Bapak dikatakan sebagai kepala sekolah yang tidak loyal. Dengan tegas Bapak berbicara berujar: “Anda katakan saya tidak loyal? Saya katakan dengan tegas: SAYA LOYAL TERHADAP NEGARA! Anda pikir saya orang yang tidak loyal? Setiap bulan saya harus melewati jalan negara antara Serawai-Sintang (+/-175 Km) yang sangat buruk itu demi mengurus anak didik saya. Saya tidak memedulikan pertaruhan nyawa saya di jalan jika sewaktu-waktu saya dirampok. Saya tinggalkan anak dan isteri saya di rumah demi masa depan anak bangsa ini. Masihkah Anda mengatakan saya tidak loyal? Jika Anda mau, silahkan cabut SK Kepala Sekolah saya. Saya siap berhenti dari jabatan ini jika dikatakan tidak loyal!”. Dan seluruh isi ruangan itu pun terdiam. Akhirnya proyek pengadaan komputer itu tetap dilaksanakan dengan uang 100 juta tanpa potongan.

Inilah wajah dunia pendidikan yang saya lihat dari pengalaman Bapak. Menyedihkan memang. Tapi tetap membangkitkan harapan. Dan saya pun bertanya: sungguh inikah Indonesia?

Ekonomi

Sebagai kecamatan yang jauh dari ibu kota kabupaten, dan infrastruktur yang tidak memadai, harga barang-barang kebutuhan di Serawai sangat mahal. Di saat harga bensin normal 6.500 Rupiah, di Serawai bisa dua kali lipatnya bisa menjadi 10.000-15.000 Rupiah. Saya pastikan bahwa uang 1000 rupiah tidak berlaku di sana. Harga barang di atas nominal tersebut. Sebagai contoh, harga wortel satu batang saja 10 ribu. Saking mahalnya harga barang dan sulitnya untuk memperoleh duit, ada penduduk yang memperoleh barang dengan sistem barter. Barang ditukarkan dengan barang. Ada peladang yang menukarkan beras yang baru dipanennya dengan mie instan, kue, gula, dan lain sebagainya. Orang Dayak di Serawai pada hakekatnya adalah seorang petani dan pemburu. Ketika kehidupan mereka yang “murni” ini dihadapkan pada suatu sistem ekonomi yang diadopsi dari barat, mereka akan kelabakan. Butuh waktu lama bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan sistem ini.

Dari fakta di atas, saya bisa menilai bahwa akar dari permasalahan “ekonomi barat”, yang kemudian menjadi ekonomi “Serawai kebarat-baratan”, ini adalah ketidakseimbangan antara sistem ekspor-impor antara wilayah Serawai dengan kota Sintang atau Pinoh yang menjadi sumber ekonominya. Di dua ibukota kabupaten ini barang-barang sandang, pangan, dan papan tersedia dengan harga yang relatif murah. Masalahnya adalah bagaimana cara membawa barang-barang ini masuk ke Serawai. Kecenderungan konsumsi masyarakat Serawai akhir-akhir ini meningkat. Dengan kecenderungan yang sedemikian besar tetapi sarana pemenuhannya terbatas, terjadilah konflik ekonomi. Apa akibatnya? Jelas, harga barang-barang meningkat.

Saya sendiri melihat bahwa cara pertama untuk menyelesaikan konflik ekonomi ini adalah perbaikan sarana dan prasarana transportasi barang-barang. Sampai hari ini, jalur transportasi barang-barang dagangan yang selalu digunakan adalah jalur air (sungai). Dari segi geografis, jalur air merupakan sarana yang paling masuk akal untuk membawa barang-barang tersebut. Dari sisi historis, orang Dayak Serawai adalah orang-orang yang hidup dari hulu air (nama sukunya Uud Danum, Uud: hulu dan Danum: air). Jadi jelaslah bahwa mulai dari zaman dulu, orang Serawai selalu menggunakan sungai sebagai tempat ia menjalankan proses hidup. Masalah muncul ketika, sekali lagi, sistem ekonomi “adopsi barat” masuk ke kampung kecil semacam Serawai. Jelas bahwa Sungai saja tidak cukup. Pertama-tama karena biaya yang dikeluarkan untuk transportasi sungai ini sangat besar. Orang miskin jelas tidak dapat membayarnya. Hanya orang kaya dan pedagang yang bisa membeli barang di Sintang dan Pinoh lalu menjualnya di Serawai. Akibatnya, para pelaku ekonomi inilah (=pedagang) yang menentukan harga barang. Orang-orang kecil kerap tidak mengerti bagimana harga barang tiba-tiba bisa naik. Yang mereka mengerti adalah bahwa uang mereka tidak cukup, atau malah tidak ada, untuk membeli barang-barang dari kota.

Untuk itu, saya menegaskan perlunya pembuatan jalur darat agar sistem ekonomi ini bisa sedikit lebih baik dan tidak menyengsarakan orang kecil di Serawai. Memang jalur darat ini sudah ada. Tetapi kondisinya sangat memprihatinkan. Sepanjang jalan yang ada hanyalah jalur tanah kuning. Bisa dibayangkan jika hujan datang. Perjalanan 5 meter saja bisa menempuh waktu 3 jam karena pengendaranya sibuk mencongkel tanah yang lengket di ban motor. Jalan darat inilah yang setiap bulan digunakan oleh Bapak dan guru-guru untuk mengurus masa depan anak didiknya. Karena itu, bisa dibayangkan penderitaan yang dialami oleh Bapak saat melewati jalur ini dengan menggunakan sepeda motor tuanya. Pernah beliau dan saya menempuh jalan ini selama 3 hari karena terjebak hujan dan banjir. Kami tidur di hutan dan ladang penduduk sembari memakan perbekalan yang tersisa. Keadaan sebaliknya terjadi jika musim kering tiba. Walaupun debu dimana-mana, tetapi waktu tempuhnya bisa mencapai 4,5 jam saja dengan sepeda motor. Inilah potensi yang saya lihat. Bayangkan saja jika jalan ini kemudian diaspal. Tentu masyarakat Serawai bisa dengan mudah mengurus kebutuhan ekonominya di kota. Dengan demikian, terjadi penghematan di banyak bidang dan harga barang-barang bisa sedikit lebih turun.

Satu contoh lagi yang bisa diambil untuk menjelaskan perekonomian di Serawai adalah kedatangan perusahaan sawit. Saya tidak akan menjelaskan dampak sosilogis, lingkungan hidup, moral, dan religius dari hadirnya perusahaan ini. Saya hanya ingin melihat realita ini dengan kacamata ekonomi. Bagi saya, perusahaan sawit ini adalah lambang kapitalisme yang sudah masuk ke kampung kecil semacam Serawai. Satu sisi positif yang dimunculkan oleh perusahaan ini adalah ketersediaan lapangan pekerjaan. Sebagian rakyat percaya dengan “kampanye murahan” seperti ini. Di mata saya, kampanye ini menjadi semacam indoktrinasi “kesadaran palsu” di dalam pikiran masyarakat Serawai. Sebagian orang Serawai pada akhirnya melihat kampanye ini sebagai sebuah kebenaran, padahal tidaklah demikian. Dengan beroperasinya perusahaan ini maka kegiatan ekonomi pun akan dipegang oleh pemilik modal (kapitalis). Harga kelapa sawit ditentukan oleh perusahaan. Jika kuota panen sawit sudah melebihi permintaan rekan kerja bisnis perusahaan ini, maka harga sawit yang telah dipanen oleh masyarakat dengan bermandi keringat pun turun. Orang Serawai bisa menjadi buruh ditanahnya sendiri. Angkatan kerja dengan gaji murah pun bertambah. Neraka muncul ketika perusahaan sawit ini pailit. Dampaknya jelas, angkatan pengangguran meningkat!

Inilah situasi ekonomi dimana masyarakat Serawai-Ambalau hidup dan bekerja. Dari apa yang saya tulis tentang perekonomian orang Serawai ini, jelaslah bahwa kebijakan pemerintah di pusat memiliki dampak yang teramat besar bagi masyarakat kecil di Serawai-Ambalau. Celakanya jika kebijakan pemerintah ini ternyata menjadi tidak bijak sama sekali! Inikah Indonesia?

Penulis: Trio Kurniawan

Bersambung.....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.