Oleh Trio Kurniawan
Tidak mudah bagi
saya untuk mulai merancang dan mengkontekstualisasikan apa yang ada dalam
pemikiran saya tentang judul yang saya pilih di atas. Ada banyak alasan. Lebih
dari itu, ada banyak pertanyaan yang muncul di dalam benak saya belakangan ini
tentang dosa, kedosaan, pendosa, berdosa. Ini tentang saya dan segala
kemanusiaan yang saya jumpai setiap hari.
Saya berjumpa
dengan beragam orang dari beragam latar belakang. Dari sekian banyak yang saya
jumpai itu, hampir semuanya mengatakan bahwa mereka ingin menjadi orang baik.
Saya pun tentunya demikian. Apakah jawaban mereka ini muncul dari ketulusan
hati, saya tidak tahu.
Semua orang
ingin menjadi orang baik. Ketika setiap orang menjadi baik, maka tuntaslah
segala traktat atau doktrin keagamaan, aturan Negara, ataupun perintah adat.
Segala aturan itu tentu bermuara pada manusia yang baik. Kebaikan seakan menjadi
puncak dari segala peziarahan manusia. Aristoteles, sang filosof itu, berkata
bahwa mahkota dari etika dan pencarian manusia adalah kebaikan.
Lantas apakah
segala persoalan moralitas dan etika menjadi sesederhana konsep yang ada? TIDAK.
Dengan tegas saya katakana: TIDAK. Manusia tidak sesederhana itu. Manusia tidak
serta-merta meng-iya-kan kebaikan. Ia bisa menjadi negasi atas segala yang
baik. Mengapa? Karena manusia diberikan budi dan nurani dimana atas sisi human error, segala yang bertujuan baik
justru bisa menjadi buruk dalam perbuatan manusia. Sederhananya, pilihan bebas
dari nurani dan budi manusia bisa saja membawa manusia pada kedosaan karena
sisi human error dari manusia.
Semua orang bisa
bersalah. Semua orang bisa melakukan perbuatan dosa. Bahkan dalam ajaran Gereja
Katolik, semua manusia menerima dosa asal sebagai “warisan abadi” sampai ia
dibaptis dan diangkat kembali menjadi anak-anak Allah. Kedosaan tampaknya
menjadi sisi lain dari koin kehidupan manusia. Ia menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari peziarahan manusia. Tanpa rasa mawas diri dan sikap mengarah
pada kesucian, manusia rentan jatuh ke dalam dosa.
Situasi berdosa
mungkin tampaknya menjadi hal yang biasa dalam kehidupan manusia jaman ini.
Dengan mengatakan “biasa” saya bermaksud ingin menunjukkan sisi keberdosaan
sebagai hal yang dengan mudahnya bisa diampuni asal manusia dengan sepenuh hati
mau bertobat dengan mengaku dosa. Benarkah demikian? Apakah dosa bisa dengan
mudah diampuni oleh Allah asal manusia mau bertobat dengan sepenuh hati?
Orang-orang yang
membaca pertanyaan saya di atas mungkin mengira saya sebagai bagian dari mereka
yang tidak mengakui kuasa maharahim dari Allah. Dengan tegas saya katakan: saya
mengimani Allah yang maha pengampun dan berbelas kasih terhadap kehidupan manusia
yang mau bertobat. Lewat pertanyaan-pertanyaan saya di atas, saya hanya ingin
menunjukkan kegelisahan yang mungkin sudah menjadi rahasia umum dalam nurani
manusia.
Pernahkah Anda
membayangkan bagaimana situasi batin dari mereka yang berdosa sangat berat?
Pernahkah Anda merasakan bagaimana berada di posisi mereka? Bagaimana rasanya
menjadi seorang pembunuh yang kemudian merasa berdosa? Bagaimana rasanya berada
di posisi mereka yang berzinah dan kemudian mereka menyadari keberdosaan
mereka? Pernahkah Anda membayangkan berada di posisi seseorang yang selingkuh
dari pasangan hidupnya yang sangat setia dan mengasihinya dengan sepenuh hati?
Mungkin saja Anda termasuk dan mengalami sendiri dosa-dosa berat yang saya
tulis di atas.
Saya tidak
membuat pertanyaan dari fakta kosong. Saya mendengarkan sendiri pergulatan dan
kegelisahan dari mereka yang merasa sangat berdosa, seperti contoh yang saya
pertanyakan di atas. Saya mewawancarai, kalau boleh disebut demikian, orang
yang berada di situasi semacam itu. Hidup seperti dihimpit dari berbagai arah.
Kematian atau bunuh diri merupakan bayangan yang tampak sangat nyata di hadapan
mata. Apakah Allah masih mengampuni kedosaan jenis ini?
Dalam keadaan
semacam itu, Allah tampak sangat jauh, bahkan tak terbayangkan. Allah memang
mengampuni dosa manusia tapi tidak untuk dosa jenis ini. Hidup menjadi begitu
sendiri dan kesepian. Semua keluarga, sahabat, dan kenalan menjauh serta
memandang jijik kepada kita. Bahkan Allah, Benteng terakhir yang mungkin kita
harapkan, juga terasa tidak peduli. Allah tak pernah merasakan berada di posisi
macam ini. Mengapa? Karena Allah tak pernah berdosa.
Allah, apakah
Engkau pernah berdosa? TIDAK PERNAH. Lantas bagaimana Engkau bisa berempati
terhadap keadaan manusia yang berdosa berat? Situasi berdosa bukanlah hal yang
mengenakkan. Andai saja Allah pernah merasakan berada di situasi sebagai
pendosa, tentu semua pendosa tak akan pernah merasa sendiri dan sepi.
Akhirnya, saya
tidak bisa menutup segala pertanyaan yang telah saya munculkan di atas. Saya
hanya ingin mengajak Anda semua bercermin dan berempati terhadap semua dari
kita yang mengalami pengalaman keberdosaan yang mendalam. Tidak mengambil
jarak. Mendekat. Mengampuni mereka. Mengapa? Karena lewat kitalah Allah hadir
bagi semua orang berdosa. Ya, lewat kita yang berdosa ini sebagai sarana,
karena ALLAH TAK PERNAH BERDOSA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar