Manusia itu berziarah. Dia bergerak. Dia mencari. Apa yang ia
cari tergantung dari bagaimana ia merumuskan tujuan hidupnya. Bahkan
manusia yang mengatakan bahwa ia tidak memiliki tujuan hidupnya pun
sudah dengan sendirinya memiliki tujuan hidup, yaitu: ketiadaan tujuan
hidup.
Dalam peziarahan ini, manusia mencari Dia yang mengatasi segalanya.
Dia adalah Yang Maha Tunggal, Tuhan. Oleh Anselmus, Tuhan adalah sesuatu
yang daripada-Nya tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan sesuatu yang
lebih besar lagi. Manusia mencari Tuhan yang menciptakan dirinya, karena
oleh Dialah manusia ada. Dalam perjalanan sejarah manusia, Allah
seringkali terasa begitu dekat, atau bahkan begitu jauh. Karena manusia
pada hakekatnya adalah peziarah, maka tidak heran jikalau ia juga
tersesat. Ia hilang. Ia terjatuh.
Namun, apakah yang membantu manusia untuk kembali ke jalan
peziarahannya menuju Tuhan? Iman. Iman adalah “bahasa” yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Iman adalah jawaban dari
segala macam kegelisahan hidup manusia. Karena imanlah maka manusia mengerti seluruh realitas hidupnya.
Iman adalah “kacamata” bagi manusia yang berziarah untuk melihat
realitas hidupnya, permasalahannya, pergumulannya, cintanya. Manusia
seringkali mengalami kebuntuan dalam peziarahan hidupnya karena ia
mencoba untuk mengerti terlebih dahulu realitas hidup tanpa mendalami
imannya. Ia tersesat karena tidak memiliki “jalan”. Ia menangis karena
Tuhan dikiranya menjauh dan meninggalkannya menderita sendiri. Ia
mengalami kegalauan karena Tuhan yang Mahakuasa seolah-olah tidak
berdaya untuk menolongnya sedikitpun.
Saya pun pernah mengalami kebuntuan dalam peziarahan hidup karena
saya lebih mengandalkan kemampuan diri dan akal budi semata. Saya
seperti burung yang patah sayapnya. Saya seperti padi yang tidak pernah
diairi. Saya bahkan pernah merasa sebagai seonggok daging tanpa jiwa.
Saya mati dalam saya yang hidup. Karena itu, saya bergumul. Saya
bergulat dengan diri saya sendiri dan Tuhan. Dan pada akhirnya, saya
menemukan iman sebagai “talenta” yang cukup lama saya timbun. Saya
menemukan iman sebagai penerang jalan saya menuju Tuhan. Dan dengan iman
saya yang sangat kecil ini, mata hati saya terbuka untuk menilai hidup
secara lebih arif. Menilai realitas secara penuh kasih. Menilai
permasalahan sebagai sahabat yang selalu berjalan seiring. Saya
menyadari kedinamisan saya sebagai manusia. Karena itu, saya menyadari
pula bahwa saya tetap bisa jatuh. Jalan masih sangat panjang untuk terus
berziarah pada Tuhan dan manusia membutuhkan 1001 pengalaman untuk
memantabkan imannya.
Maka, ketika imanmu membutuhkan jawaban…mulailah untuk beriman!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar