![]() |
Fr. Trio Kurniawan CM |
Tak terasa, saya sudah menyelesaikan masa Imercy saya dengan
menjadi seorang buruh di sebuah bangunan yang hampir selesai. Beberapa
bekas goresan (luka kecil) masih tampak di beberapa bagian tubuh saya
ketika saya memutuskan untuk segera menuliskan pengalaman kecil saya
dalam kegiatan ini. Rasa letih pun masih memeluk tubuh saya ini dengan
manja. Saya senang boleh mengalami ini semua. Imercy ini adalah
pengalaman pertama untuk saya. Masih akan ada Imercy yang lain, asal
saya tetap menjalani panggilan ini.
Saya menjadi seorang buruh bangunan, demikian perintah formator
kepada saya. Apa yang saya bisa lakukan dengan menjadi seorang buruh
bangunan? Bangunannya seperti apa? Jujur saja, saya tidak memiliki
keterampilan apapun di bidang bangunan. Tapi toh saya harus berangkat, apapun alasannya. Saya kira ini wajar. Toh
dalam hidup ini, ada banyak hal yang kita tidak mengerti, namun harus
kita jalani. Kita seperti berjalan dalam kegelapan. Namun, kita harus
tetap berjalan untuk menjadi tanda bahwa kita hidup. Hanya seorang
penakut yang memilih untuk “mati” ketika berada dalam kegelapan hidup.
Saya mencoba untuk mulai menikmati “perjalanan” kecil ini.
Ternyata, saya mendapat jatah kerja di bangunan yang nyaris
selesai. Ada beberapa pekerja di sana: Pak Jemain (kepala tukang), Mas
Jupar, Pak No, dan beberapa pekerja borongan yang menyelesaikan
pembangunan kanopi. Para pekerja borongan ini selesai dua hari setelah
kedatangan saya. Oh ya, saya bekerja di tempat ini bersama seorang
konfrater, Galan. Dia kakak kelas saya di seminari tinggi. Saya
bersyukur karena boleh bekerjasama dengan para tukang yang sangat
bersahabat ini. Mereka semua adalah para tukang yang ceria, disiplin,
dan beriman (paling tidak saya melihat bahwa mereka tekun menjalankan
ibadah sholatnya). Bagi saya, mereka adalah guru tukang dan sahabat yang
baik. Tidak ada hari tanpa tertawa. Saya, dan Galan, diterima dengan
sangat baik di tempat ini. Saya mendapat tugas mengamplas dinding,
mengecat, membongkar lantai atas, mengangkat semen, mengangkut beberapa
sak batu, dan membersihkan tumpahan cat. Ini pekerjaan sederhana, dan
sangat pas untuk pemula seperti saya. Beruntung bahwa mereka mengerti
kalau saya masih sangat “awam’ untuk menjadi tukang.
Saya, dan Galan, tidur di bangunan yang belum selesai ini. Cuacanya
dingin. Celakanya, kami berdua tidak ada membawa sweater sehelaipun.
Terpaksa saya tidur dengan menggunakan selimut tipis dan celana pendek
saja. Awal-awalnya berat karena saya menggigil terus. Namun,
lama-kelamaan malah biasa. Saya tidur di atas selembar papan triplek dan
potongan banner yang ternyata lebih pendek dari ukuran badan saya. Ini
semua lebih dari cukup. Setiap pagi kami makan roti tiga lapis untuk
menghemat uang makan. Siang dan sore baru kami makan di warung para
buruh. Apa yang bisa saya katakan tentang makan siang kami? Gila!
Porsinya benar-benar “maksimal”. Saya bahkan hampir tidak melihat
pinggir piring yang saya gunakan. Bagi saya, porsi sebanyak ini tentu
“aneh”. Apa perut saya mampu memakan makanan sebanyak itu? Tapi toh saya
harus makan. Terlanjur sudah disiapkan. Saya berjuang “mati-matian”
pada hari pertama untuk menghabiskan seluruh makanan ini. Selanjutnya,
belajar dari pengalaman pertama, saya selalu memesan porsi khusus (hanya
setengah piring) setiap kali makan. Itupun tetap terasa masih banyak.
Untungnya, satu porsi di warung itu hanya 4-5 ribu rupiah.
Pada akhirnya, saya harus kembali ke seminari. Lha, kalau saya tidak
pulang bagaimana? Apa saya jadi tukang terus? Belumlah. Saya masih perlu
belajar banyak tentang dunia pertukangan. Saya pulang ke seminari masih
dengan menggunakan pakaian kerja. Kotor dan lusuh, seperti badan saya.
Berat badan, puji Tuhan, turun beberapa kilogram. Niat kecil saya
tercapai. Saya membutuhkan 1 minggu untuk menurunkan beberapa kilogram
tadi. Tapi, untuk menaikkannya di seminari, saya hanya membutuhkan
beberapa hari saja. Celaka!
Apa “hal’ yang saya bawa pulang ke sminari dan kemudian menjadi milik
saya? Pertama, ketika ada banyak hal yang masih “gelap”, belum
dimengerti, tetaplah berjalan. Modal saya untuk terus berjalan, dalam
pengalaman kecil ini, adalah bahwa seminari hendak membentuk saya
menjadi seorang calon imam yang baik. Ketika hidup dalam masyarakat
luas, modal hidup adalah iman. Hal ini terdengar abstrak dan terlalu divine
(suci)! Namun, Siapa yang kita imani ini adalah dia yang dekat, yang
seringkali hilang dalam kepanikan, kesibukan, kegalauan, dan 1001
dinamika hidup kita lainnya. Karena itu, biarkan Dia yang menjadi terang
kita dalam kegelapan, lewat doa, kasih, dan kegembiraan sebagai sahabat
Tuhan. Kedua, kegembiraan itu bukan hanya milik orang kaya! Namun juga
bukan hanya milik orang miskin! Kegembiraan adalah milik orang-orang
yang tahu berterima kasih karena selalu menyadari setiap pemberian Tuhan
dalam hidupnya. Saya melihat dan mengalami kegembiraan ini dalam
pribadi para tukang yang bekerja bersama saya di bangunan ini. Kami
bergembira secara sederhana. Kami menertawakan kebodohan dan kehebatan
kami sendiri. Kami menertawakan kelalaian dan keberhasilan kami secara
jujur. Seringkali dengan mengatakan “miskin” ataupun “kaya”, kita secara
tidak sadar (atau malah sadar) memojokkan satu pihak dan meninggikan
pihak yang lain. Saya secara pribadi kurang setuju dengan term ini. Saya
lebih senang menyebut setiap manusia sebagai orang! Dan ketiga, saya
menyadari bahwa setiap orang masih membutuhkan selaksa pengalaman agar
ia mampu menilai hidup cecara bijak dan mencintai manusia dengan Allah
secara total. Hal-hal ini juga yang saya coba terapkan dalam menjalani
panggilan, seorang "buruh Tuhan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar