Saya sering mendengar orang-orang
bicara, saya bahagia kalau saya punya banyak uang, mobil mewah, dan isteri
cantik. Ada juga yang mengatakan, saya bahagia bila saya bisa keliling dunia
dengan gratis. Adalagi yang mengatakan, saya bahagia bila berada didekat
kekasih saya. Ada begitu banyak ungkapan kebahagiaan.
Ada juga yang mengeluh karena
merasa tidak bahagia. Merasa tidak bahagia karena sering sakit-sakitan. Ada lagi
yang merasa tidak bahagia karena sering bertengkar dengan pasangan. Ada juga
yang tidak bahagia karena tidak kaya. Merasa jelek. Bahkan ada yang merasa
tidak bahagia karena merasa kesepian meskipun punya banyak uang, rumah megah,
mobil mewah, serta isteri cantik. Terlebih merasa tidak bahagia karena kurang
CINTA.
Ada juga kebahagiaan yang salah
kaprah. Mereka mencari kebahagiaan pada Narkoba dan alkohol. Ada yang bahagia
bila dibelikan orang tua handphone
mahal atau sepeda motor. Serta banyak lagi.
Sebenarnya apa sih takaran kebahagiaan? Apakah materi? Jabatan? Atau menjadi terkenal? Dalam kehidupan hedonis seperti saat ini, mungkin jawabannya iya. Itulah takaran kebahagiaan. Lantas bagaimana dengan mereka yang tak punya cukup uang?
Sebenarnya kebahagiaan itu sangat
sederhana. Tidak perlu harus punya banyak materi, punya jabatan, atau menjadi
terkenal. Bahagia itu kita yang buat, bukan dicari.
Bahagia itu tidak perlu mahal. Orang
yang bahagia itu seperti seorang petani yang duduk di pondok merokok sambil
minum kopi, lalu sebentar-sebentar dia melihat kearah padinya yang mulai menguning.
Seperti seorang guru yang tersenyum melihat nilai muridnya yang tinggi tanpa
menyontek. Orang tua bahagia bila
anaknya berprestasi dan menjadi orang yang berhasil. Itu contoh kebahagiaan
yang sederhana.
Pada suatu sore menjelang malam,
saya dan bapak duduk-duduk santai di teras depan rumah kami. Bapak bertanya, “Bang,
apakah kau bahagia dengan kehidupan kita?” Saya menjawab,”Iya, saya bahagia.
Kehidupan selalu berubah. Dahulu kita tidak seperti ini.” Lalu bapak
melanjutkan pembicaraannya,”Betul. Kau pun tahu dulu kita seperti apa waktu di
Kembayan. Kita ngontrak sana-sini. Lalu bapak mampu beli tanah. Waktu itu kita
belum mampu buat rumah. Bapak dirikan pondok untuk kita tinggal. Disitulah tempat
kita makan, tidur. Tidak lama setelah itu baru kita punya rumah sendiri. Sekarang
rumah itu sudah dijual karena kita pindah ke Serawai. Di Serawai ini kita hidup
mulai dari nol lagi. Sampai rumah ini jadi. Bagi bapak, biar kecil yang penting
rumah sendiri.”
“Apakah bapak puas dan bahagia?”
tanyaku.
“Jelas. Bapak sangat bersyukur
atas apa yang telah Tuhan berikan pada kita. Kalian berempat mampu bapak
sekolahkan sampai perguruan tinggi. Terlebih lagi dua adikmu yang merelakan
diri menjadi pelayan Tuhan. Suatu kebanggaan bagi bapak. Nanti, kalau kalian
semua sudah berhasil, jadilah contoh untuk orang. Jadilah orang yang ringan
tangan.”
Saya mengamini nasehat bapak. Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa kebahagiaan yang
sederhana adalah ketika kita mampu bersyukur atas segala karunia yang Tuhan
berikan pada kita. Jadi bersyukurlah agar bahagia. Jangan merasa bahagia dahulu
baru bersyukur kemudian, karena bahagia itu sesederhana saat kita bersyukur.
inspirasi
BalasHapus