Label: , ,

Saya Loyal Terhadap Negara! (Sebuah catatan kritis) II

Sambungan dari Saya Loyal Terhadap Negara! (Sebuah catatan kritis) I

Oleh Trio Kurniawan



Budaya
Budaya dalam pengertian saya di sini bukanlah hanya terbatas pada kenyataan-kenyataan fisik semacam tari-tarian, ritual-ritual adat, dan barang-barang adat saja, tetapi mencakup nilai-nilai budaya, kearifan lokal, maupun nilai filsafat dari kebudayaan tersebut.
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Serawai adalah sebuah kampung kecil di pedalaman Kalimantan Barat. Dalam bahasa saya, Serawai adalah “pinggir lingkaran metafisis Indonesia”. Apa artinya? Walau dalam pandangan fisik di peta letak Serawai termasuk daerah tengah Indonesia (Anda harus jeli untuk melihat posisi Serawai di Google Map), tetapi tidak dengan letaknya secara metafisis (ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya). Serawai berada di pinggir. Kata “pinggir” tidak berarti yang terburuk, tetapi yang masih murni dalam menjaga apa yang an sich (pada hakekatnya) ada dalam diri masyarakatnya sejak dahulu kala. Masyarakat Serawai memiliki ritual, tradisi, dan kearifan lokal yang sangat baik. Mereka hidup dari alam, maka alamlah tempat mereka merawat kehidupan.
Segi kemurnian masyarakat Serawai ini pada akhirnya mulai tergerus sejak modernisasi digalakkan oleh pemerintah. Modernisasi ini terlalu gegabah dan salah kaprah! Terlalu gegabah karena mental masyarakatnya belum siap untuk menerima modernisasi. Salah kaprah karena moderniasi hanya dipandang sebagai penggunaan alat-alat elektronik yang canggih. Arti modernisasi yang merupakan peningkatan kesadaran rasional manusia sehingga harkat dan martabatnya terjaga malah tereduksi menjadi lambang dari modernisasi itu saja seperti alat-alat elektronik, kecanggihan senjata, dan lain-lain. Inilah kesalahan praktek modernisasi yang ditanamkan pemerintah Indonesia. Saya tidak bisa menyalahkan masyarakat Serawai dan modernisasi itu sendiri karena an sich keduanya baik. Masyarakat Serawai haruslah menjadi modern dalam batas-batas tertentu sehingga bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman di luar komunitasnya.
Apa bukti dari kesalahan aktualisasi prinsip modernitas ini? Sebagai satu contoh: saat ini jamak kita temui orang muda Serawai menggunakan HP yang begitu canggih dan mahal. Bahkan di daerah pedalaman, yang tidak tersentuh sinyal, pun terdapat cukup banyak masyarakat yang menggunakan HP berkualitas prima (kamera, pemutar musik dan video, dan lainnya). Untuk apa? Saya pun tidak mengerti. Kebanyakan HP canggih ini dimiliki oleh anak-anak yang orang tuanya adalah petani kecil. Seandainya pun HP ini dimiliki oleh seorang muda yang sudah bekerja, mayoritas yang saya lihat adalah para pekerja emas. Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki HP tanpa sinyal? Mungkin, sejauh yang saya dengar, HP itu digunakan untuk mendengarkan lagu, menonton video-video (maaf) porno, dan atau untuk meningkatkan status sosial. Ini lucu sekaligus ironis!
Tantangan inilah yang dihadapi oleh Pak Ngawan ketika menjadi kepala sekolah di Serawai. Hampir semua anak didiknya memiliki HP canggih dan mahal tersebut. Pak Ngawan tahu bahwa mayoritas anak-anak ini berasal dari golongan menengah ke bawah dalam bidang ekonomi. Inilah yang membuat Pak Ngawan sedih dan kecewa. Anak-anak ini sudah hampir kehilangan “nilai rasa” mereka terhadap jerih payah orang tuanya. Nilai moral untuk selalu menghormati, menghargai, dan menyayangi orang tua secara perlahan mulai luntur dari kesadaran mereka karena pada jaman ini mereka sudah melihat hal lain yang bisa diagungkan: modernitas! Sebagai solusinya atas tindakan tersebut: Pak Ngawan melarang setiap muridnya membawa HP ke sekolah dan akan mengamankan HP tersebut jika memang ada siswa/I yang melanggar. HP yang diamankan tersebut hanya boleh diambil oleh orangtua yang bersangkutan. Dalam perjumpaan dengan orang tua siswa inilah Pak Ngawan sering menyampaikan pandangan dan harapannya tentang siswa/I ini. Namun tak jarang kebijakan ini menjadi lahan konflik antara Pak Ngawan dengan siswa/Inya. Pernah ada siswa yang ingin mengajak Pak Ngawan berkelahi.
Apa yang dipaparkan di atas adalah contoh nyata dari dampak modernisasi gegabah dan salah kaprah ini. Degradasi nilai-nilai moral dan budaya secara perlahan menyentuh setiap masyarakat Serawai. Ada pergeseran besar yang terjadi di dalam diri masyarakat Serawai, yaitu dari sebuah solidaritas mekanis menjadi solidaritas organis. Dari masyarakat yang memiliki ikatan persaudaraan yang kuat dan menyadari kesetaraan di antara mereka sehingga norma-norma sosial dan perilaku sosial diatur dengan rapi dalam hukum adat menjadi masyarakat yang menghargai sesamanya berdasarkan pembagian kerja (posisi dalam pemerintahan). Maka tak heran jika rasa hormat anak-anak di sana terhadap kedua orang tuanya menjadi berkurang. Ada sosok lain yang bisa mereka hormati: televisi dan HP. Tidak heran juga bahwa sekarang terjadi kejahatan-kejahatan di Serawai yang biasa terjadi di masyarakat modern seperti pemerkosaan, pembunuhan, peredaran video porno ataupu narkoba, dan lain-lain. Baru-baru ini ditemukan mayat bayi yang diduga korban seks bebas terapung di sungai Serawi. Mengerikan!
Jangan tanya tentang pelestarian kebudayaan fisik! Anak muda di Serawai lebih tertarik dengan budaya K-Pop dan barat. Tentu saja alat-alat elektronik ini yang menjadi pintu gerbangnya. Maka kebudayaan dan warisan leluhur lainnya ini hanya menjadi “milik” orang tua saja. Secara tidak sadar, orang muda di Serawai (yang notebenenya akan menjadi garda depan Serawai) mulai menggabungkan diri mereka ke dalam suatu lingkup budaya modern yang jauh lebih besar dan tidak mereka kenal sebelumnya: modernitas. Jika tidak hati-hati, orang muda Serawai bisa tersesat.
Akhirnya, jika Serawai saja sudah demikian adanya, bagaiman dengan Jakarta? Jika “pinggiran metafisis” Indonesia ini saja sudah demikian, bagaimana dengan “pusat metafisis”nya? Bagaimana dengan Indonesia secara keseluruhan? Inikah Indonesia?
Lingkungan Hidup
Sebagaimana yang bisa dilihat dalam Google Map, Serawai terletak di dalam hutan belantara Kalimantan Barat. Bisa dikatakan bahwa mayoritas warna yang digunakan adalah hijau tua. Itu artinya hutan yang mengelilingi wilayah Serawai masih dianggap lebat. Benarkah demikian? Masih berapa lama “warna hijau” di Google Map itu akan bertahan?
Pertanyaan saya di atas bukannya tanpa alasan yang jelas. Saya masih ingat. Ketika pertama kali saya datang ke tempat ini (2001), masalah yang dihadapi masyarakat Serawai berkaitan dengan hutan adalah illegal logging. Setiap hari jamak dilihat kayu-kayu gelondongan dibawa lewat sungai Melawi yang mengalir melintasi Serawai. Entah sudah berapa juta kubik kayu hilang karena tindakan ini. Masyarakat Serawai menilai bahwa ada “permainan” antara pemilik perusahaan dengan pemerintah daerah ataupun aparat penegak hukum berkaitan dengan ijin penebangan pohon dan wilayah operasi perusahaan. Seringkali yang terjadi adalah wilayah tanah adat milik masyarakat malah digarap juga oleh perusahaan. Tak berapa lama setelah instruksi penertiban penebangan hutan secara liar dikeluarkan oleh pemerintah (mis. Kep. Menhut. No. 7501/Kpts-II/2002 atau Inpres No. 4 tahun 2005), praktek perusakan lingkungan hidup terjadi lagi. Kali ini bukan lewat illegal logging, tetapi lewat penambangan emas secara liar. Mesin-mesin pengeruk emas di sungai maupun di darat bermunculan bagai jamur di musim hujan. Sungai Melawi dan Sungai Serawai yang dulunya terlihat jernih, sekarang berwarna cokelat susu kehitam-hitaman. Pendangkalan sungai terjadi dimana-mana. Usaha penambangan emas ini adalah murni milik masyarakat setempat. Mengapa hal ini bisa muncul? Karena faktor ekonomi. Ketika perusahaan kayu masih aktif, banyak masyarakat yang bekerja di sana. Setelah perusahaan tersebut tutup karena pelanggaran hukum ataupun bangkrut, ada banyak orang Serawai yang kemudian menganggur. Akibatnya, penambangan emas secara liar dianggap sebagai solusi yang tepat dan cepat. Setelah “demam” penambangan emas liar ini turun secara perlahan akibat tindakan hukum yang dilakukan aparat keamanan, kini muncul “raksasa” baru perusak lingkungan hidup di Serawai: PERUSAHAAN SAWIT!
Jika dilihat secara pelan-pelan ke belakang, tampak bahwa perusakan lingkungan hidup di Serawai terjadi secara terus menerus. Inti tentang perusakannya tetap sama, hanya pelakunya berbeda. Satu hal yang patut dicatat dari 3 aktor perusak lingkungan hidup tersebut adalah bahwa pemerintah ikut ambil bagian dalam perijinan 2 di antaranya (Illegal logging dan perusahaan sawit). Saya tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Kalimantan (yang adalah paru-paru dunia) malah dijadikan lahan untuk perusahaan perusak hutan? Apa karena sistem ekonomi di Indonesia ini tidak dikendalikan oleh pemerintah, melainkan pemilik modal? Beberapa aktivis lingkungan hidup di Indonesia (mis. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/WALHI) menyerukan penurunan emisi gas karbon terutama lewat pelestarian lingkungan hidup. Presiden juga menyerukan hal yang sama. Tetapi mengapa perusakan ini terus berlanjut? Pemerintah ingin bertindak tegas, tetapi mengapa hanya petani hutan kecil yang ditangkap? Padahal mereka hanya menggunakan hasil tanah mereka untuk mendirikan rumah. Apakah masyarakat kecil, misalnya di Serawai, harus menjadi “pencuri di rumah sendiri”?
Sekali lagi, ini semua sangat ironis!
Lantas, bagimana Pak Ngawan menjalani hidupnya sebagai seorang guru biasa di tengah perusakan hutan seperti ini? Beliau tidak banyak bicara, hanya berbuat. Sejak tahun 2004, Pak Ngawan mulai membeli sebidang tanah dan menanam karet. Beberapa tahun kemudian, Pak Ngawan menambah luas kebun karetnya. Tanah yang beliau beli adalah bekas-bekas ladang yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Alasan beliau menanam karet ini sederhana saja: “karet itu tidak merusak hutan. Lalu, lumayan juga untuk menambah penghasilan!”. Tak lama kemudian, mulai semakin banyak juga para tetangga Pak Ngawan yang menanam karet. Saya tidak tahu apakah Pak Ngawan ini telah menjadi pionir bagi mereka. Bisa saja iya, bisa saja tidak. Yang pastinya beberapa anggota masyarakat Serawai mulai sadar untuk menjaga lingkungan hidup mereka, salah satunya dengan menanam karet.
Lihatlah! Tindakan Pak Ngawan ini sederhana, tetapi memiliki arti yang sangat besar dalam penyadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan hidup. Pak Ngawan tidak ikut seminar ataupun kampanye pelestarian lingkungan hidup, tetapi beliau sudah bertindak lebih dulu untuk menyelamatkannya.
Setelah Saya Bercermin: Sebuah Refleksi akhir
Saya tidak mungkin menuliskan secara lengkap apa saja fakta Indonesia yang bisa dilihat dari kehidupan Pak Ngawan dan masyarakat Serawai. Kalaupun saya menuliskannya tulisan ini bukan berjudul catatan, tetapi buku. Saya pun sadar bahwa apa yang saya tulis ini tentu akan membahayakan keamanan Pak Ngawan. Bisa saja Pak Ngawan dipecat dari pekerjaannya ataupun diteror oleh orang lain jika catatan ini dibaca oleh berbagai pihak yang merasa tersentil. Dengan penuh ketegasan saya katakan: Pak Ngawan tidak bersalah untuk semua yang dituliskan di sini! Sayalah yang dengan penuh ketulusan hati menuliskannya, karena kegelisahan saya kepada negara ini, tanpa permintaan sekali pun dari Pak Ngawan. Apa artinya? Sayalah yang bertanggung jawab.
Sengaja pula saya mengangkat 4 tema besar di atas sebagai lahan kajian saya tentang Indonesia karena keempat hal inilah yang, menurut saya, termasuk pilar-pilar utama keberadaan Indonesia. Selain itu, keempat tema itu sangat dekat dengan kehidupan kedua sumbernya. Memang bukan keempat tema ini saja yang kemudian menjadi pilar utama Indonesia. Tentu masih ada poin lain. Tetapi waktu dan kesempatan saya sebagai seorang mahasiswa terbatas. Dalam lain kesempatan mungkin saya akan membahas poin-poin lainnya itu.
Apa kesimpulan saya dari refleksi ini? Pertama, Indonesia bukanlah sebuah negara yang sudah “mapan” sejak ia pertama kali berdiri. Sisi historisitas Indonesia menunjukkan bahwa bangsa ini sejak mulanya sudah dipenuhi dengan konflik antar lembaga, etnis, ataupun golongan. Menurut saya, konflik-konflik ini baik sejauh ia menumbuhkembangkan Indonesia. Segala macam gesekan yang berbau SARA akan semakin menyadarkan bangsa ini bahwa Indonesia itu sudah sejak awalnya bersifat majemuk. Maksudnya, peristiwa “dialektis” yang terjadi di dalam konflik-konflik ini pasti akan memunculkan suatu kesadaran baru yang lebih tinggi di dalam masyarakat Indonesia tentang kehidupan yang lebih luhur. Tentang apa yang baik dan buruk atau benar dan salah. Kedua, pemerintah Indonesia, yang menangani seluruh kehidupan masyarakat Indonesia dalam suatu sistem, belum berhasil menjamin keberlangsungan hidup masyarakat yang berada dalam sistem tersebut. Fakta-fakta Indonesia yang saya tuliskan di atas menunjukkan bahwa sistem ini begitu rapuh! Karena itu, perlu diadakan “pertobatan masal” di dalam keanggotaan sistem ini. Selain itu presiden sebagai kepala negara haruslah seorang yang benar-benar tulus mengabdi negara, bukan malah disetir oleh bermacam-macam kepentingan lain yang mengganggu kerja sistem tersebut. Ketiga, Indonesia ini negara yang kaya dan besar. Di dalamnya tersimpan potensi yang begitu besar untuk membangun kehidupan masyarakatnya ataupun dunia. Karena itu sangat disayangkan jika potensi besar ini tidak memiliki aktualitas yang tepat. Apalagi jika pengaktual potensi ini adalah orang atau lembaga yang salah.
           Pada akhirnya, semangat keindonesiaan saya kembali terbakar. Saya mencintai negara ini dengan segala macam kekayaannya, sama seperti Pak Ngawan yang loyal terhadap negara. Namun demikian, saya tetap tidak mau menjadi “orang buta” di tengah negara ini. saya tetap terus belajar agar nasionalisme kritis saya ini tetap berkembang dan berguna bagi banyak orang. 


Malang, Akhir April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.