Label: , , , ,

Animisme Awal Suku Dayak Uud Danum



 Oleh Trio Kurniawan

Suku Uud Danum
Uud Danum, atau sering juga disebut Ot Danum, adalah sebutan untuk kelompok suku Dayak yang berdiam di antara dua sisi pegunungan Schwaner di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Suku ini menyebar di beberapa daerah sekitar dua provinsi tersebut. Suku Uud Danum yang akan dibahas dalam tulisan ini bermukim di Kec. Serawai dan Kec. Ambalau, Kalimantan Barat. Suku Uud Danum merupakan suku mayoritas di dua tempat ini. Memang ada beberapa suku lain, tetapi jumlah mereka tidak banyak dan hidupnya membaur dengan masyarakat Uud Danum.
Uud Danum adalah kelompok suku dayak yang berdiam di daerah hulu sungai (Uud berarti hulu, Danum berarti air). Ada dua sungai yang mengalir di sana, yaitu sungai Melawi (dari Kec. Ambalau) dan sungai Serawai (menuju Kec. Serawai). Suku Uud Danum yang melewati jalur sungai Melawi disebut Dohoi dan yang melewati sungai Serawai disebut Cihie. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat uud Danum adalah bahasa Uud Danum.
Jumlah total masyarakat Uud Danum secara pasti belum bisa diberikan dalam tulisan ini karena belum ada pendataan resmi terhadap jumlah mereka. Sebagai perbandingan, jumlah masyarakat Serawai adalah 21.922 jiwa (BPS Kabupaten Sintang tahun 2010) dengan mayoritas umat beragama Katolik. Berarti masyarakat Uud Danum Serawai sekitar 60% dari jumlah tersebut.

Sistem Kepercayaan Masyarakat Uud Danum
Secara geografis, tempat tinggal masyarakat Uud Danum dikelilingi hutan-hutan dan sungai. Pada jaman dahulu, ketika modernisme belum masuk ke wilayah ini, seluruh anggota masyarakat Uud Danum hidup dari hasil hutan dan sungai. Mereka berburu, mencari sayur-sayuran, ataupun mencari ikan di hutan dan sungai. Alam menyediakan segalanya bagi mereka.
Karena seluruh hidup mereka bergantung pada alam, maka sistem kepercayaan masyarakat Uud Danum pun tentunya erat berhubungan dengan alam.  Orang Uud Danum tidak mengenal sebutan “Tuhan” ataupun “Allah”. Agama mereka, kalaupun bisa disebut demikian, adalah animisme.[1] Orang Uud Danum tidak menyebut kepercayaan ini sebagai sebuah agama. Mereka hanya menyadari bahwa apa yang mereka percayai ini telah dilaksanakan secara turun-temurun sehingga mereka tetap menghidupinya sampai sekarang.
Walaupun orang Uud Danum tidak mengenal sebutan “Allah” ataupun “Tuhan”, namun mereka mengakui adanya “Roh Tertinggi” yang mengatur seluruh kehidupan mereka. Apapun yang dilakukan manusia, menurut kepercayaan orang Uud Danum, akan selalu diperhatikan oleh Roh Tertinggi ini. Pemahaman ini mempengaruhi aturan moral dan hukum adat masyarakat Uud Danum. Sebagai contoh, di dalam masyarakat Uud Danum ada istilah Kempunan (atau biasa juga disebut Pehunan). Kempunan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut peristiwa-peristiwa sial atau celaka yang diakibatkan kelalaian seseorang untuk mencicip sedikit, atau minimal menyentuh dengan tangan, makanan yang telah dihidangkan baginya. Peristiwa kempunan ini, oleh orang Uud Danum, dipercaya sebagai perbuatan dari roh yang ada disekitar mereka. Rambang Ngawan, OP menulis dalam sebuah artikel[2] tentang bagaimana paham kempunan ini secara rasional ternyata tidak hanya terhenti pada masalah perbuatan roh halus bagi manusia. Ada beragam nilai yang terkandung di balik paham ini, misalnya: pemahaman akan betapa pentingnya makanan sebagai hal yang essensial bagi manusia dan juga bagaimana setiap orang harus selalu berhati-hati dimanapun mereka berada. Satu nilai lagi yang paling penting adalah bagaimana, lewat peristiwa mencicip makanan ini, setiap anggota masyarakat Uud Danum dapat menghargai dan menghormati kebaikan sesamanya.
Selain nilai-nilai moral, hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat Uud Danum juga dipengaruhi oleh keberadaan Roh Tertinggi. Sebagai contoh, seseorang yang ketahuan berbuat zinah akan terkena ulun[3], dan lebih parah lagi, bisa diusir dari kampung. Hukum adat masyarakat Uud Danum terkenal di Sintang dan sekitarnya sebagai hukum adat yang sangat berat dan keras. Selain itu, biaya untuk pelaksanaan hukum adat juga mahal. Keadaan ini bukannya tanpa alasan. Hukum adat dan tradisi yang ada di dalam masyarakat Uud Danum ini tercipta sedemikian rupa karena kepercayaan mereka akan keseimbangan kosmis. Jika ada satu hal yang salah, maka keseimbangan tersebut akan terganggu. Akibatnya, Roh Tertinggi bisa murka dan menghukum mereka. Hukuman itu bisa berupa kematian yang tak wajar, gagal panen, ataupun tanda-tanda alam lainnya. Jadi, ulun ataupun pengusiran dari kampung itu bukanlah semata hukuman yang membuat jera, tetapi ada hal lain yang “lebih’ dari sekadar itu semata.
Orang Uud Danum juga percaya bahwa Roh Tertinggi inilah yang memberikan alam kepada mereka sebagai tempat untuk hidup. Karena alam adalah pemberian, maka orang Uud Danum memiliki kewajiban moral untuk menjaganya dengan baik dan penuh rasa hormat. Orang Uud Danum yakin bahwa mereka hanya menumpang tinggal di dunia ini.
Di samping kepercayaan akan Roh Tertinggi, orang Uud Danum meyakini bahwa masih ada roh-roh lain yang juga membantu Roh Tertinggi untuk menjaga kelangsungan hidup mereka. Mereka percaya akan keberadaan roh-roh halus di sekitar mereka. Roh-roh ini hidup di pohon-pohon dan sungai-sungai. Roh-roh inilah yang menjadi “penunggu” pohon-pohon tersebut. Itulah sebabnya alam menjadi sesuatu yang sangat sakral bagi orang Uud Danum.
Karena sedemikian sakral dan pentingnya alam bagi orang Uud Danum, maka tak ada tempat sebenarnya bagi penodaan “kesucian hutan”. Alam dan orang Uud Danum merupakan dua hal yang sangat menyatu dan saling bergantung. Mengapa? Karena lewat alam, orang Uud Danum bisa berkomunikasi dengan Roh Tertinggi yang menjadikan segalanya ada bagi mereka. Lewat alam juga orang Uud Danum bisa hidup. Betapa menyedihkan sekali ketika ada orang Uud Danum yang ternyata ikut merusak alam mereka sendiri. Itu artinya mereka mengingkari diri mereka sendiri. Mereka mengkhianati Roh Tertinggi. Karena itu, sudah seharusnya orang Uud Danum melawan setiap tindakan yang menodai alam dan keseimbangan kosmis yang telah dirancang oleh Roh Tertinggi. Uraian berikut ini akan memberi penjelasan tentang roh-roh yang dipercayai keberadaannya oleh orang Uud Danum.

Jenis-Jenis Roh, Karakter, dan Tingkatannya
Roh Tertinggi dalam masyarakat Uud Danum disebut dengan nama Tahala’. Dialah yang mengatur keseimbangan kosmis dalam kehidupan masyarakat Uud Danum. Beberapa orang sempat menganggap bahwa Tahala’ ini sama dengan Tuhan dalam kepercayaan Kristani, tetapi anggapan itu kemudian ditolak. Dua Realitas Tertinggi ini sekilas memang tampak sama karena kemahakuasaan dan daya kreatifnya untuk menciptakan dunia. Apa yang membedakan mereka? Dalam dunia Kristiani, Tuhan adalah Realitas Tertinggi yang dari pada-Nyalah segala yang ada menjadi ada dan kepada-Nyalah segala yang ada akan terarah. Tuhan adalah Realitas Tertinggi yang menganugerahkan kebaikan kepada manusia. Apakah Tuhan juga menghakimi? Dalam Kitab Suci, dijelaskan bahwa penghakiman Allah atas manusia telah dimulai dan hukumannya akan diberikan di penghakiman terakhir, ketika manusia meninggal (Mat 25: 14-46). Bagaimana dengan Tahala’?
Tahala’ adalah Realitas Tertinggi dalam alam kepercayaan orang Uud Danum. Dalam beberapa hal, Tahala’ merupakan realitas yang berbeda dengan Tuhan. Di dalam satu pribadi, Tahala’ memiliki dua kuasa yaitu kuasa baik dan kuasa jahat. Keduanya tidak bisa dipisahkan dari Tahala’. Karena dua kuasa ini, Tahala’ juga bisa menghakimi. Tetapi, penghakiman Tahala’ atas kejahatan manusia tidak dilakukan setelah manusia meninggal. Penghakiman itu dilakukan ketika manusia masih hidup. Dengan demikian, Tahala’ yang baik dan jahat benar-benar terlihat dalam keseharian hidup orang Uud Danum. Ketika Tahala’ baik, maka panen berlimpah. Ketika Tahala’ marah, maka manusia mengalami celaka.
Lalu bagaimana orang Uud Danum melihat kematian? Bagi mereka, kematian adalah semacam gerbang untuk masuk ke Betang Abadi.[4] Orang Uud Danum percaya bahwa di Betang inilah mereka akan tinggal lagi bersama Tahala’ dan kaum kerabat mereka yang telah meninggal.
Orang Uud Danum juga tidak memiliki konsep tentang surga atau neraka. Bagi mereka, setiap anggota suku yang meninggal pasti bisa masuk ke Betang Abadi asalkan diadakan pesta Dalo’  bagi orang yang meninggal. Pesta Dalo’ merupakan pesta adat tertinggi di dalam suku Uud Danum. Pesta Dalo’ dipenuhi dengan banyak ritual sakral. Pelaksanaanya bisa dilakukan beberapa hari setelah pemakaman ataupun beberapa tahun kemudian. Rata-rata orang Uud Danum melaksanakan pesta Dalo’ beberapa tahun setelah kematian. Mengapa? Karena pesta Dalo’ merupakan pesta yang memerlukan dana yang sangat besar. Selain itu, perencanaan acara adatnya harus benar-benar matang sehingga tidak ada kesalahan selama acara berlangsung. Orang meninggal yang sudah di-Dalo’-kan dipercaya sudah memiliki takun[5] dan jihpon[6] di Betang Abadi. Lalu bagaimana dengan orang meninggal yang belum mengalami Dalo’? Orang Uud Danum percaya bahwa mereka ini akan menjadi Otu’.[7]
Selain Tahala’, ada beberapa roh lain yang tingkatannya ada di bawah Tahala’. Roh-roh ini sama-sama memiliki kekuatan baik dan jahat di dalam diri mereka sendiri. Dua roh yang memiliki kekuatan besar menurut orang Uud Danum adalah Gana dan Lebata.
Gana adalah roh yang, menurut orang Uud Danum, tinggal di pohon-pohon besar seperti beringin ataupun lanjau[8]. Tidak semua pohon ada penunggunya, hanya pohon-pohon tertentu saja. Sejauh ini belum pernah ada orang yang mendiskripsikan sosok Gana seperti apa. Masyarakat hanya meyakini Gana sebagai penunggu pohon-pohon keramat tersebut. Orang-orang yang bertindak sembarangan di dekat pohon-pohon ataupun berkata-kata kotor tentang pohon tersebut akan mendapat Badi.[9]
Lebata sebenarnya hampir sama dengan Gana. Perbedaannya, Lebata merupakan roh yang tinggal di air seperti sungai ataupun teluk. Lebata berbentuk ular gaib yang berukuran besar dan memiliki satu tanduk emas. Lebata kadangkala menampakkan dirinya untuk manusia. Orang yang bisa melihat Lebata, apalagi sampai mampu mematahkan tanduknya, akan mendapat tuah.[10] Ketika sisi jahatnya muncul, Lebata bisa membunuh manusia dengan cara memakan semangat[11] manusia tersebut.
Pada tahun 2011 lalu, ada seorang anak muda di Serawai yang tiba-tiba mengalami kejang setelah ia mandi di sungai. Tubuhnya membiru. Tak lama kemudia ia meninggal. Masyarakat percaya bahwa semangatnya telah dimakan Lebata karena ada kesalahan yang dilakukan oleh anak tersebut ataupun keluarganya. Untuk menghentikan kemarahan Lebata tersebut, keluarganya dan beberapa tokoh masyarakat kemudian melaksanakan suatu upacara khusus untuk memberi pacuh[12] kepadanya.
Pembahasan di bawah ini akan menitikberatkan beberapa upacara adat yang memiliki hubungan langsung dengan keberadaan roh-roh ini. Hanya dua upacara adat yang dipilih sebagai contoh, walau sebenarnya masih ada banyak upacara lain.

 Bohajat dan Mohpaisch: Upacara Adat bagi Tahala’, Lebata, dan Gana
Ada begitu banyak upacara adat yang dilaksanakan oleh orang Uud Danum. Pelaksanaan upacara ini biasanya diurutkan sesuai dengan kronologi kehidupan manusia, mulai dari lahir hingga meninggal. Setiap upacara ini tentunya memiliki nilai, tujuan, dan makna masing-masing sesuai dengan konteks pelaksana upacaranya. Di antara sekian banyak upacara tersebut, Bohajat dan Mohpaisch merupakan upacara adat yang pelaksanaanya seringkali tidak harus sejalan dengan kronologi kehidupan manusia.
Bohajat merupakan upacara adat yang isinya mirip dengan bernazar. Ketika Bohajat, seseorang berdoa pada Gana ataupun Lebata memohon kesembuhan, rejeki berlimpah, pendidikan selesai dengan baik, hasil ladang meningkat, dan lain-lain. Upacara menyampaikan Hajat disebut Nohka’ Hajat (melempar atau menyampaikan Hajat). Jika doanya ini dikabulkan, orang yang Bohajat harus membalas Hajatnya. Balas Hajat ini menjadi sangat penting karena jika si pelaksana Hajat tidak melakukannya, maka semangatnya akan diambil dan dia akan meninggal. Jadi, ada dua ritual yang dilakukan seseorang ketika Bohajat, yaitu ritual ketika memanjatkan Hajat dan ritual ketika Hajat sudah dikabulkan.
Upacara Nohka’ Hajat bisa dilakukan di rumah pelaksana Bohajat. Sebaliknya, upacara balas Hajat harus dilakukan di tempat dimana Lebata atau Gana tinggal (sungai, teluk, pohon, dll). Pemimpin upacara Bohajat tidak harus kepala suku, tetapi juga orang-orang yang dituakan atau yang mengerti dengan baik tata upacara Bohajat.
Dalam upacara Nohka’ Hajat, pemimpin upacara memanggil roh halus yang menjadi tujuan Bohajat (Gana atau Lebata). Roh ini bisa dipanggil dengan menyiapkan sesaji. Isi dari sesaji tersebut adalah ayam utuh yang sudah dimasak, beras kuning, sirih, rokok, tuak, serta makanan dan minuman lainnya yang dimakan di rumah pelaksana Bohajat. Sebagai catatan, ayam yang digunakan haruslah utuh dari ujung kepala sampai ekor. Menurut orang Uud Danum, roh halus tidak mau menerima sesajian yang tidak utuh. Sesajian ini kemudian diletakkan di suatu tempat khusus yang telah disiapkan oleh tuan rumah, entah di depan ataupun di belakang rumah. Sebelum diletakkan di sana, pemimpin upacara akan mengambil sedikit sesaji itu dengan tangan kirinya lalu kemudian dilemparkan ke sembarang tempat. Mereka percaya bahwa roh halus tidak mau menerima makanan menggunakan tangan kanan. Harus dengan tangan kiri.
Setelah permohonan dikabulkan, pelaku Hajat akan melaksanakan balas Hajat. Satu hari sebelum upacara balas Hajat (H-1), pemimpin upacara dan pelaksana Hajat harus pergi ke tempat tinggal roh yang menjadi tujuan Bohajat untuk memberikan sesaji. Isi sesaji yang diberikan pada umumnya sama. Tapi ada satu hal yang berbeda. Jika pada upacara Nohka’ Hajat kurban yang diberikan adalah ayam, maka pada upacara balas Hajat kurban yang diberikan adalah babi. Jika sebelumnya babi, maka kurban berikutnya adalah sapi.
Pada hari H upacara balas Hajat, seluruh anggota keluarga dan peserta Bohajat akan melaksanakan makan-minum adat. Dalam acara ini, roh halus (Lebata atau Gana) akan makan terlebih dahulu dengan cara menyiapkan sedikit makanan yang akan dimakan (sebagai syarat) oleh seluruh orang yang ikut dan kemudian diletakkan di pohon atau pinggir sungai dimana upacara Bohajat berlangsung. Walaupun sedikit, makanan yang diberikan kepada roh tersebut harus mewakili seluruh makanan dan minuman yang akan disantap oleh keluarga yang ikut. Setelah pemberian makanan untuk roh halus selesai, seluruh peserta upacara bebas makan dan minum sepuasnya. Tuak[13] pun bisa dibagikan. Syarat terakhir dalam upacara ini adalah seluruh makanan yang ada harus dihabiskan tanpa ada yang tersisa.
Upacara selanjutnya adalah Mohpaisch. Mohpaisch merupakan upacara adat yang dilakukan untuk memohonkan perlindungan dan penyertaan Urai Ondak[14] untuk kehidupan seseorang ataupun beberapa orang. Permohonan ini disampaikan kepada Tahala’. Pemimpin dari upacara ini biasanya adalah orang-orang yang dituakan. Praktik dari upacara Mohpaisch sebenarnya cukup sederhana. Orang yang didoakan pertama-tama harus duduk menghadap ke arah matahari terbenam. Setelah itu, pemimpin upacara adat akan mengibaskan seekor ayam hidup sebanyak tujuh kali di atas orang tersebut. Setelah menghadap matahari terbenam, orang yang didoakan harus menghadap ke arah matahari terbit lalu ayam dikibaskan lagi sebanyak tujuh kali. Setiap kali mengibaskan ayam, pemimpin upacara akan memanjatkan doa-doa kepada Tahala’. Ketika menghadap ke arah matahari terbenam, doa yang disampaikan bertujuan untuk membuang sial. Sebaliknya, menghadap ke arah matahari terbit berarti memohonkan keselamatan.
Ayam yang digunakan dalam upacara ini kemudian dipotong dan dimasak untuk dimakan bersama. Selain ayam, benda-benda yang digunakan dalam upacara ini adalah sambon (manik-manik), tongang, beras, mandau[15], dan darah ayam. Manik-manik digunakan untuk menggantikan darah. Darah memiliki arti yang sangat penting bagi orang Uud Danum. Manusia hidup karena ada darah. Jadi dengan mengenakan manik-manik tersebut, orang diharapkan bisa hidup dengan baik. Manik-manik tersebut dikenakan sebagai gelang. Karena manik-manik tersebut bukan merupakan gelang utuh, maka diperlukan tali untuk mengikatnya. Tali tersebut disebut tongang. Tongang merupakan tali yaang sangat kuat, terbuat dari kulit salah satu pohon di Kalimantan. Tongang digunakan sebagai lambang untuk memperkuat semangat. Beras digunakan untuk memanggil semangat orang tersebut agar tetap menyatu dengan tubuhnya. Mandau digunakan dengan cara digigit sebanyak tiga kali. Dengan melakukan hal tersebut, orang yang didoakan akan semakin keras dan teguh semangatnya seperti kerasnya mandau. Terakhir, darah ayam dimaksudkan sebagai kurban silih untuk menggantikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang yang didoakan.
Demikianlah dua contoh upacara adat yang erat kaitannya dengan keberadaan baik Tahala’ maupun Lebata ataupun Gana. Upacara-upacara ini sebenarnya masih bisa diperinci lagi penjelasannya. Namun, sebagai sebuah gambaran umum, penjelasan di atas sudah mencukupi.


[1] Animisme adalah suatu aliran kepercayaan yang mengakui keberadaan roh-roh halus yang mengatur kehidupan manusia dan alam. Roh-roh ini dipercaya tinggal di benda-benda yang disakralkan oleh manusia.
[2] “The Phenomenon of ‘Kempunan’: Lessons in Life from Food and Drinks” adalah artikel yang ditulis oleh Rambang Ngawan, OP dalam kerjasama dengan Penulis  dan Sutimbang Ngawan, S.Pd. Tulisan ini pertama-tama adalah artikel lepas yang kemudian dimuat dalam blog pribadi: http://dontimbang.blogspot.com/2013/07/the-phenomenon-of-kempunan-lessons-in.html, diakses pada tanggal 10 November 2013.
[3] Ulun adalah beban adat yang ditanggungkan kepada seseorang akibat perbuatannya yang salah. Beban adat ini bisa berupa uang, hewan, ataupun benda-benda adat (gong, mandau, dll).
[4] Betang adalah rumah adat orang Dayak yang berbentuk rumah panjang. Satu rumah bisa terdiri dari ratusan bilik. Setiap biliknya dihuni oleh satu keluarga.
[5] Bilik, kamar.
[6] Pembantu, kuli, budak.
[7] Roh halus (semacam hantu) yang masih hidup bersamadengan manusia di dunia.
[8] Pohon yang memiliki ukuran (diameter) cukup besar.
[9] Badi merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut kesialan yang dialami manusia akibat tindakannya melecehkan keberadaan Gana atau Lebata. Penyebutan Badi selalu dalam hubungannya dengan kedua roh tersebut. Badi bisa berupa penyakit ataupun kematian.
[10] Tuah sama dengan keberuntungan.
[11] Roh atau jiwa manusia.
[12] Makanan (khusus untuk roh halus).
[13] Minuman beralkohol (biasa terbuat dari beras ketan yang diberi ragi) yang sering digunakan dalam upacara-upacara adat orang Uud Danum.
[14] Semacam malaikat pelindung dalam tradisi Kekristenan.
[15] Senjata adat orang Dayak dalam bentuk parang/golok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.