Oleh Trio Kurniawan
Pendahuluan
Masyarakat Dayak Uud
Danum[1]
(atau sering pula disebut Dayak Ot Danum-Ngaju) adalah masyarakat adat yang
hidup di bumi Kalimantan. Suku ini termasuk dalam 6 suku Dayak terbesar yang
ada di Kalimantan. Suku Dayak Uud Danum terbagi atas 61 suku-suku kecil. Salah satu suku kecil
ini bermukim di Kecamatan Serawai, Kab. Sintang, Kalimantan Barat.
Kematian merupakan tema
sentral dari kehidupan masyarakat Uud Danum. Ada berbagai macam kekayaan mitos
yang terkandung dalam tema ini. Ada banyak upacara dan ritual adat di dalam
kehidupan masyarakat Uud Danum, namun tak ada satupun yang lebih besar dan
agung daripada upacara kematian.
Dalam seluruh
perjalanan kehidupan masyarakat ini, upacara kematian menjadi semacam upacara
“puncak” pengembaraan manusia di dunia. Upacara kematian ini dinamakan Upacara Dalo’, yaitu upacara untuk mengantar
arwah yang sudah mati menuju tempat kediaman abadi. Bagi masyarakat Dayak Uud
Danum, tempat ini adalah tempat yang indah di mana Dia Yang Mahatinggi (Tahala’)
berada. Masyarakat Uud Danum percaya bahwa orang yang telah mati akan berkumpul
lagi dengan keluarganya di tempat itu. Mereka akan tinggal di betang-betang[2]nya
masing-masing.
Untuk sampai ke tempat
itu, mereka percaya bahwa diperlukan upacara untuk menghantar arwah yang telah
meninggal. Jika arwah orang yang telah meninggal itu tidak dihantar, mereka
akan tetap hidup di sekitar orang-orang yang masih mengembara di bumi dan
mengganggu keseimbangan alam manusia yang masih hidup; kematian
mereka tidak sempurna.
Upacara ini bisa
dikatakan sebagai upacara pemakaman yang kedua. Upacara pemakaman yang pertama
dilakukan ketika orang baru saja meninggal. Setelah beberapa waktu orang ini
dikuburkan, kuburan ini akan digali lagi dan tulang-belulangnya akan
dipindahkan ke suatu tempat yang baru. Inilah yang dimaksud dengan Upacara Dalo’ (Upacara Angkat Tulang).
Upacara
Dalo’: Mengantar Arwah ke Betang
Abadi
Pesta Dalo’ dibagi
menjadi dua tingkatan yaitu Dalo’ Nahpeng
dan Dalo’ Kodiring. Dalo’ Nahpeng adalah Dalo’ yang tidak dibuat Kodiring (rumah tulang) dan tulang tidak
diangkat dari kuburnya. Tetapi hanya kuku atau rambut saja yang di pahat pada Sopundu’[3].
Jika hal ini dilakukan, maka diyakini sang arwah di alam baka hanya mempunyai
sebuah Takun (kamar) di dalam rumah
(betang) yang permanen. Dalo’ Ngodiring
maksudnya adalah upacara adat Dalo’ dengan
membuat Kodiring (rumah tulang). Jika
hal itu dilakukan maka bagi arwah orang yang di Dalo’ di alam baka akan mempunyai sebuah Lovu (rumah yang sangat permanen). Pada upacara Dalo’ ini, jika penyelenggaraannya
membunuh kerbau, maka selain Torasch[4]
dan Sopondu’, juga harus mendirikan Sokalan (semacam tiang dari kayu belian
besar dan tinggi, pada puncaknya ditempatkan sebuah tempayan).
Pesta Dalo’ dibuka dengan upacara Nohkak Ucak (menumbuk padi). Upacara ini
dilakukan pertama-tama untuk memberitahu Tahala’
bahwa tuan rumah akan mengadakan pesta mengantarkan arwah keluarganya yang
telah meninggal sehingga Tahala’
berkenan mengijinkan dan memberkati pesta ini.
Dalam upacara Dalo’ ini, Sopundu’ termasuk benda sentral dalam upacara. Sopundu’ tidak langsung dipasang/ditancap di halaman rumah. Ada
upacara awal yang dilaksanakan untuk memasang Sopundu’. Upacara ini disebut Ngitot
Sopundu’ (mengantar Sopundu’).
Setelah upacara ini selesai, barulah Sopundu’
bisa didirikan. Pada jaman dahulu, tuan rumah akan meletakkan kepala
manusia di bawah Sopundu’ untuk
menjadi kurban/tumbal bagi Sopundu’ tersebut.
Kepala manusia ini diperoleh dari mengayau. Namun kebiasaan ini telah
dihentikan sejak disepakatinya perjanjian Tumbang Anoi[5] di
bumi Kalimantan. Pada tiang Sopundu’
ini biasanya digantung kepala hewan kurban. Kepala ini dimaksudkan sebagai
ucapan syukur kepada Tahala’.
Orang Uud Danum percaya
bahwa roh Sopundu’ inilah yang akan
menjadi budak bagi arwah yang dihantarkan itu. Budaknya ini akan melayani arwah
yang dihantarkan itu saat telah berada di Betang abadi. Budaknya inilah yang
akan mencuci pakaian, memasak, berburu, ataupun mencari kayu bakar untuk
tuannya. Segala macam peralatan yang akan dipakai oleh budak ini nanti
dipersiapkan dalam upacara Puhkung[6].
Upacara terakhir yang
sangat penting adalah mengantarkan tulang ke Kodiring/Sandung. Kodiring adalah sebuah rumah kecil
berbentuk betang. Rumah ini berfungsi untuk menampung tulang-belulang sanak
keluarga yang telah menjalani pesta Dalo’.
Kodiring ini adalah miniatur surga
bagi arwah yang telah meninggal. Pada jaman dahulu, ada kebiasaan untuk
mengabukan tulang-tulang tersebut sehingga yang dibawa masuk ke Kodiring adalah abu dalam guci kecil.
Pengabuan ini dimaksudkan sebagai penghapusan dosa dan salah dari arwah yang
telah meninggal. Namun kebiasaan ini telah lama ditinggalkan. Tulang belulang
orang yang dipestakan ini dibawa oleh suami, istri ataupun anak-anaknya. Untuk
membawa tulang ini, ia harus mengenakan Takui
Dalo’, mandau dan kain penggendong. Tulang belulang ini diletakkan di dalam
kain tersebut. Upacara pengantaran terakhir ini disebut Naloh. Dengan dihantarkannya tulang-belulang ini ke Kodiring, masyarakat Uud Danum meyakini
bahwa arwah yang dihantarkan telah sampai ke Betang abadinya. Untuk mengusir
segenap roh jahat ataupun Otu’
(hantu) yang mengikuti masyarakat selama pesta Dalo’, diadakanlah Hopohau’[7].
Ketuhanan
dan Kemanusiaan Orang Uud Danum Serawai
Dari seluruh rangkaian
pesta Dalo’ ini, ada dua hal besar
yang diyakini oleh masyarakat Uud Danum berkaitan dengan ketuhanan dan
kemanusiaan, yaitu:
1. Masyarakat
Uud Danum mempercayai adanya Dia Yang
Tinggi, yang mereka sebut sebagai Tahala’[8].
Tahala’ ini adalah pribadi yang
transenden, tak tertandingi. Tahala’
inilah
yang mengatur hidup atau mati, kesuburan atau kegagalan panen. Karena itu,
arwah orang yang telah mati akan dihantarkan kembali kepada Tahala’ sehingga Tahala’ akan menjaga lagi arwah orang tersebut di dalam kehidupan
yang baru.
2.
Masyarakat Uud Danum percaya bahwa ada
kehidupan lagi setelah kematian.[9] Pertanyaan mendasar yang muncul di benak mereka
adalah: kemanakah arwah manusia pergi setelah ia mengalami kematian? Hilangkah
jiwa dan raganya? Pertanyaan ini terjawab ketika mereka mengalami mimpi. Dalam
mimpi tersebut, mereka berjumpa dengan arwah sanak keluarga yang telah mati.
Karena itu, mereka kemudian meyakini bahwa ada kehidupan setelah kematian.
Masyarakat Dayak Uud Danum percaya bahwa mereka (arwah-arwah)
tetap
memiliki jiwa dan raga yang utuh
karena pada saat bermimpi mereka menjumpai arwah tersebut dalam bentuk utuh.
Dengan kata lain, manusia dalam pandangan suku Dayak Uud Danum bersifat immortal (abadi) baik jiwa dan raganya. Karena itulah
orang-orang yang telah mati ini tetap diberi makan (pacuh[10])
oleh anggota keluarga yang masih hidup. Dengan kata lain, ada realitas baru dan berkelanjutan sesudah
kematian. Manusia yang telah mati tidak akan kehilangan identitasnya jika ia mati.
Karena
itu, kehidupan di dunia yang selanjutnya ini perlu dipersiapkan. Namun demikian, mereka belum dapat menjelaskan
keabadian tubuh fisik secara logis selain hanya bersumber dari “penglihatan”
dalam mimpi.
Manusia
Uud Danum Serawai: Para Manusia Di Dalam Perjalanan
Upacara Dalo’ menunjukkan bagaimana manusia Uud
Danum memaknai keberadaan mereka di dunia. Ketika kematian menjemput mereka di
dunia, itu bukanlah akhir dari segala-galanya. Masih ada kehidupan yang
tampaknya sama persis di Betang Surgawi. Masih ada kayu-kayu yang dipotong
untuk dijadikan kayu bakar. Masih ada air jernih di sungai yang bisa diangkut
ke betang.
Pola kehidupan yang
berulang semacam ini menegaskan bahwa manusia Uud Danum adalah mereka yang tak
pernah berhenti berjalan melintasi titik-titik kehidupan entah di dunia maupun
setelah mereka meninggal. Mereka terus hidup. Kematian hanyalah semacam gerbang
bagi mereka untuk memasuki keabadian dimana tubuh dan jiwa mereka tidak pernah
hancur dan binasa.
Pertanyaanya, apakah
segala macam kejahatan dan kebaikan mereka di duna ini “dihitung” sebagai
“tiket” mereka untuk memasuki keabadian? Manusia Uud Danum tampaknya tidak
memiliki gagasan semacam ini dalam tradisi mereka. Gagasan ini menjadi hidup
ketika Kekristenan dan Islam masuk di Kec. Serawai beberapa tahun lalu.
Bagi manusia Uud Danum,
kebaikan yang mereka lakukan itu semata-mata demi menjaga harmoni alam. Ketika
alam mengalami harmoni, tentu mereka sendiri yang menikmatinya. Mereka meyakini
bahwa segala macam kehancuran, penderitaan, dan kerusakan pada kehidupan
disebabkan oleh perbuatan manusia yang berbuat salah kepada alam ataupun
roh-roh yang ada di pohon-pohon keramat. Itulah sebabnya beberapa manusia Uud
Danum menganut panteisme hingga saat ini. Akar-akar panteisme masih terdapat
dalam kehidupan mereka dewasa ini.
Cara mereka
memandang kehidupan seperti ini jelas menunjukkan pola relasi mereka dengan 3
pribadi penting dalam hidup manusia Uud Danum: Tahala’, alam dan sesama.
Manusia Uud Danum yang masih hidup di dunia menjaga pola relasi yang harmonis
untuk ketiga subjek tersebut. Manusia tinggal di alam dan alam dijaga oleh
manusia. Jika manusia merusak sesamanya dan alam, Tahala’ akan marah. Dengan
demikian, ketiganya tak terpisahkan.
Manusia Uud
Danum tak bisa berelasi langsung dengan Tahala’ karena Ia adalah Realitas yang
jauh, yang tak tersentuh. Sebagai perbandingan, orang Kristiani dapat berelasi
dengan Allah lewat doa dan peribadatan. Tidak demikian dengan manusia Uud
Danum. Mereka mengakui adanya Tahala’, tapi Ia tak tersentuh. Dalam
peribadatannya, manusia Uud Danum mempersembahkan segala makanan atau hasil
buminya bukan kepada Tahala’, melainkan kepada roh-roh halus yang menguasai
pepohonan, tanah atau sungai.
Bagaimana pola
relasi mereka dengan alam? Manusia Uud Danum sangat menghormati alam karena
dari alamlah mereka dapat hidup dan menetap. Ada 3 hal dari alam yang tak bisa
dipisahkan dari manusia Uud Danum yaitu sungai, tanah dan hutan. Pada 3
komponen itulah mereka menjalankan aktifitas mereka sehari-hari.
Dalam prinsip
manusia Uud Danum, mereka boleh saja menggunakan alam namun tak boleh serakah
dan seenaknya tanpa “ijin” dari penunggu hutan tersebut. Alam boleh digunakan
sejauh itu untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Dengan demikian,
konsep “kaya raya” akan uang tak terlalu memiliki pengaruh pada manusia Uud
Danum dulu. Mereka bisa disebut kaya jika memiliki banyak manusia jihpon.[11]
Pada saat akan
membuka ladang, misalnya, manusia Uud Danum akan mengadakan ritual membuka
ladang terlebih dahulu untuk meminta ijin kepada roh yang menjadi penunggu
tanah atau hutan dimana mereka akan berladang. Dalam ritual tersebut, pacuh akan diberikan kepada roh-roh
halus yang dipercaya berada di situ. Jika manusia Uud Danum tidak melakukan
ritual semacam ini, diyakini bahwa hasil ladangnya tak akan maksimal, bahkan
peladang akan terkena bani. Bani adalah penyakit yang datang
tiba-tiba kepada seseorang karena orang tersebut membuat roh-roh halus
tersinggung, atau juga jika seseorang melewati wilayah roh-roh halus tanpa
minta ijin.
Jika membuka
ladang, orang Uud Danum tak boleh serakah. Mereka harus menggunakan tanah
secukupnya. Mengapa? Karena setelah 2 atau 3 kali tanah itu digunakan untuk
berladang, tanah itu akan ditinggalkan dan dibiarkan kembali sampai menjadi
hutan. Inilah yang oleh orang modern disebut sebagai metode ladang berpindah. Ketika
membuka ladang ini ditunjukkan bagaimana orang Uud Danum menjalin relasi dengan
sesamanya.
Seseorang
tidak dapat membuka ladangnya sendirian karena ladangnya tentu luas dan perlu
menebang pohon-pohon agar terlihat lebih lapang. Untuk tujuan itulah kegiatan handop diperlukan. Handop adalah kegiatan yang dilakkan oleh manusia Uud Danum secara
beramai-ramai untuk membuka ladang seseorang. Kegiatan ini dilakukan secara
ikhlas dan tanpa bayaran. Si empunya ladang biasanya hanya menyediakan makanan
secukupnya untuk semua orang yang bekerja. Handop
ini dilakukan secara bergiliran. Jika saat ini si A yang membantu, maka disaat
lainnya ia yang ikut membantu handop
di ladang orang lainnya.
Beberapa
gagasan kecil yang dimunculkan dari pengalaman keseharian manusia Uud Danum
dalam berelasi dengan Tahala’, alam dan sesamanya menunjukkan bagaimana mereka
hidup dalam kemanusiaan mereka di dunia. Cara berpikir manusia Uud Danum
sederhana dalam memandang kosmologi. Bagi mereka, keharmonisan menjadi hal yang
utama. Ketidakseimbangan berarti kehancuran.
Apa yang
terjadi setelah kematian memang tak sejelas apa yang terjadi dalam kehidupan di
dunia orang hidup. Namun demikian, mereka meyakini adanya keberlanjutan antara
hidup dan mati. Setelah kematian, masih ada kehidupan yang tampaknya sama
persis dengan apa yang mereka jumpai di dunia orang hidup.
Penutup
Demikianlah
manusia Uud Danum mencoba
untuk terus menggulati dunia ketuhanan dan kemanusiaan dalam hidup mereka. Pergulatan ini tak
akan pernah berhenti karena mereka masih terus mengembara di dunia. Mereka
masih bergulat dengan ke-ada-an mereka dan penyebab segala sesuatu yang ada.
Mereka masih terus menggulatinya dalam perjalanan bersama alam bumi Kalimantan
Barat. Bumi yang terus menjaga dirinya.
Upacara Dalo’ dapat menggambarkan
antropologi manusia Uud Danum. Ada banya hal yang sebenarnya tersembunyi di balik
upacara ini. Namun dimensi misteri yang terkandung dalam upacara ini justru
akan semakin membuat refleksi atasnya semakin mendalam.
Manusia Uud Danum terus bergulat dalam kemanusiaannya, entah di dunia orang
hidup ataupun di dunia orang mati. Mereka mengembara dari satu kehidupan ke
kehidupan berikutnya. Hidup tak terhenti dalam jejak-jejak kaki mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Bertens, K. Sejarah
Filsafat Yunani. Yogyakarta:Kanisius. 1993.
Fox, James J. Agama
dan Upacara. Jakarta: Buku Antar Bangsa. 2002.
K., Soemargono.
Kalimantan Barat: Profil Provinsi
Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Bhakti wawasan Nusantara. 1992.
Runs, Dagobert,
D. Dictionary Of Philosopy. America: Littlefield, Adams & CO.
1956.
Sumber Lisan:
F.X.
Ngawan
[1] Secara etimologi, Uud Danum berarti
hulu air (Uud: hulu, Danum: Air). Jadi, suku Uud Danum adalah kelompok suku
Dayak yang bermukim di bagian hulu sungai.
[2] Rumah
Betang
(sebutan untuk rumah adat di provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah),
merupakan rumah yang dihuni oleh masyarakat Dayak.
[4] Torasch adalah tiang
kayu panjang yang ujungnya seperti mata tombak. Kayu ini terbuat dari kayu Tebelian.
[5] Pertemuan pada tanggal 1 Januari
1894 di Tumbang Anoi ini membahas tentang kesepakatan untuk berhenti mengayau
dan membebaskan para jihpon (budak)
[6] Semacam tarian roh yang dilakukan
pada malam saat tulang masih berada di pondok dekat rumah tuan pesta.
[7] Hopohau’ yaitu semacam
permainan masyarakat yang mengikuti pesta Dalo’.
Orang-orang yang mengikuti pesta Dalo’
saling melempar ataupun melumuri badan dengan oli bekas, minyak rambut, lumpur,
minyak goreng bekas, dan bahkan kotoran babi dan sapi.
[8] Bisa dilihat pada upacara pendirian Sopundu’. Masyarakat meletakkan kepala
kerbau sebagai ucapan syukur pada Tahala’
(atau masih banyak contoh lainnya).
[9] Ada banyak contoh dalam upacara ini, mis.: makna pada
patung sopundu’, persiapan lovu’, penempatan tulang pada kodiring, dll.
[10] Upacara kecil untuk memberi makan arwah orang yang sudah meninggal.
Upacara ini biasa dilakukan pada saat anggota keluarga yang masih hidup
melaksanakan pesta. Caranya yaitu dengan melemparkan makanan (ayam, nasi dll)
ke luar rumah menggunakan tangan kiri.
[11] Manusia jihpon adalah mereka yang dijadikan budak pada orang-orang kaya Uud
Danum. Semakin banyak budaknya, semakin kaya orang tersebut. Biasanya, manusia jihpon ini “digunakan” pada saat
upacara-upacara adat Uud Danum. Pada pesta Dalo’ biasanya kepala salah satu
manusia jihpon ini yang digunakan
sebagai tumbal untuk sopundu’ yang
digunakan pada upacara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar