Kisah
Untuk Kawan
Kawan,
Ini aku, Iyo. Tapi
itu bukan nama asliku (kau tahu itu!). Mari kuajak kau bercerita.
Kuajak kau mendengarkan kisahku. Ini bukanlah sebuah kisah heroik
yang banyak dirindukan orang-orang seusia kita. Ini juga bukan sebuah
dongeng yang biasa orang tua kita ceritakan saat kita mau tidur. Ini
hanya sepenggal kisah biasa, yang pada akhirnya kurasakan sebagai
sebuah kisah luar biasa. Ketika pertama kali hatiku ingin bercerita
padamu, keraguan sedikit menerorku siang malam. Apa kau mau kalau
saat ini aku bercerita padamu? Ah, sudahlah. Kau pasti mau. Bukankah
selama ini kau telah menemani setiap langkahku? Langkah kita? Kalau
kau mulai bosan untuk mendengarkan aku bercerita, ingatlah bahwa kita
tak pernah bosan melangkah bersama. Jejakmu adalah jejakku. Kisahmu
adalah kisahku.
.
. .
Hidup adalah
perjalanan menuju suatu tempat yang kita tidak tahu di mana ujungnya.
Terkadang, kita harus mendaki, menuruni lembah, dan melewati jalan
yang berbatu. Tetapi bekal yang harus dibawa dalam perjalanan itu
adalah iman, harapan, dan cinta. Aku senang melihat dan mengamati
kembali potongan-potongan perjalanan hidupku. Melakukan hal ini
seperti tercampur dalam jutaan sensasi yang aku tak tahu menyebutnya
sebagai apa. Mempelajari kembali potongan-potongan ini membuat aku
merasa terbang; seperti bulu ayam yang mengelus telingaku,
menggelitik tapi asyik. Menggenggam potongan-potongan ini membuat
kepalan hidupku semakin keras untuk menembus beton-beton kehidupan.
Tetapi, ini juga menjadikan aku fleksible untuk melewati pintu yang
sempit. Huh… Ini seperti beribu asa yang terbakar oleh masa lampau!
Aku bangga berada di
tengah keluargaku. Rasa bangga ini melampaui segala macam penghargaan
yang pernah melekat padaku. Aku dilahirkan sebagai anak ketiga dari
empat bersaudara, tiga cowok dan bungsu cewek.
“Kelahiran Iyo itu
sebuah tanda tanya besar. Sebuah realisasi penantian yang telah lama
ditunggu-tunggu oleh bapak dan mamak,” kenang bapakku.
Sebenarnya, aku
diharapkan lahir sebagai manusia berjenis kelamin wanita. Segala
macam atribut gono-gini
untuk seorang bayi perempuan pun sudah dibeli. Semua itu masih kurang
pas karna calon namaku belum dipilih. Akhirnya diputuskan bahwa nama
calon bayi perempuan ini adalah Tria Kurniasih. Namun, saat hari
kelahiranku, di tengah hujan lebat dan halilintar sambar menyambar,
harapan itu ternyata harus pupus lagi. Nenek Bidan, demikian aku
biasa menyapa beliau, berusaha keras membantu persalinan ibuku.
Pada akhirnya,
beliau berteriak,” Laki-laki!”
Semua orang yang
berada di rumah terdiam, kecuali aku yang menangis keras menghirup
oksigen sebanyak-banyaknya.
Keheningan pecah
dengan perkataan bapakku,” Syukur pada Tuhan! Namanya saya ubah
Trio Kurniawan. Anak ketiga karunia Tuhan.”
Semua menjawab,”
Amin… Amin…”
Sebuah rasa syukur
yang bermakna kepasrahan pada Tuhan. Mungkin hampir putus asa. Kalau
aku boleh menebak kata hati bapakku saat itu, beliau akan
berkata,”Saatnya akan tiba!!!”
.
. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar