Pesona Bukit Kelam

Bukit kelam merupakan satu destinasi wisata terkenal di Kabupaten Sintang.

Suku Bangsa Dayak Uud (Uut) Danum

Suku bangsa Dayak Uud (Uut) Danum merupakan subsuku penduduk asli pulau Kalimantan.

The Phenomenon of Kempunan Lessons

The Dayak worldview, the indigenous people of Borneo/Kalimantan Island, can be likened to the worldview of the ancient Greeks before the coming of philosophers which was greatly mythological in its nature..

Asal Usul Cihie (Sihiai)

Menelusuri asal Cihie sebagai subsuku Dayak Uud (Uut) Danum.

Kosanak Kolop Doro' Bohuang

Kisah mengenai pelajaran dan nasihat hidup.

New Life, New Adventure

Pernikahan Sutimbang dan Santi.

Label: ,

Malam Minggu: Ingat Waktu Susah!

Selamat malam Minggu, saudara/saudari!!! God loves you.

O ya, selamat memasuki Pekan Suci! Kalau dalam bahasa rohaninya, kita akan memasuki hari-hari terakhir retret agung Gereja. Dan, Pekan Suci ini dimulai dengan perayaan Minggu Palma. Karena itu, mari kita siap-siap untuk misa. Untuk teman-teman yang punya planning panjang malam ini, tunda dulu. Saya hanya menyarankan supaya kita ambil cukup waktu untuk beristirahat. Toh ini akhir pekan, saat untuk mengendurkan segenap ketegangan syaraf dan otot setelah sepekan penuh kita beraktivitas. Kita siapkan tenaga untuk misa Minggu Palma besok. Kalau masih ada yang mengatakan: “saya sibuk”, I don’t know. Yang saya sadari, Tuhan nggak pernah bilang “Saya sibuk” atas segenap kegelisahan kita. Iya apa iya? Hehehe...

Ok. Malam ini saya mengingat-ingat lagi secuil permenungan saya selama sepekan ini. Ada satu pertanyaan yang menggelitik saya. Kasih Tuhan itu masih aktual nggak untuk manusia saat ini? Mengapa saya bertanya seperti ini? Apa saya kurang beriman? Mungkin ada yang bahkan bilang: Trio, kamu mulai atheis ya? Well. Saya terima saja kalau ada pendapat yang demikian. Sebuah gagasan yang dilempar kepada publik akan menerima beragam umpan balik lagi dari publik; bisa positif, negatif, ataupun netral (no comment, kata banyak orang begitu). Ups, saya sebenarnya agak tersenyum kritis dengan ungkapan no comment yang sering terlontar ketika seseorang menanggapi masalah. Itu terdengar aneh dan lucu. Dari dirinya sendiri kata no comment itu sudah merupakan comment baru. So, pernyataan itu mubazir ditelinga saya.

Balik ke pertanyaan tentang kasih Tuhan itu tadi.

Dalam jejak-jejak perjalanan panggilan saya sampai detik ini, ada cukup banyak pengalaman yang saya peroleh bersama dengan orang-orang miskin (kata orang-orang kampus: kaum marginal). Ada pengamen di perempatan Ijen Malang, pengemis di perempatan Kasin, para buruh pabrik kopi di sebuah desa di Malang, anak-anak cacat di sebuah panti asuhan besar di Malang, dll. Ada banyak yang tak dapat saya sebutkan satu per satu. Mereka guru dan sahabat saya. Ya, dalam setahun belakangan saya dan kawan-kawan se-angkatan banyak mengais hidup di jalan-jalan kota Malang. Yang membuat saya sering bertanya-tanya dahulu adalah tentang kemelaratan hidup mereka. Kasih Tuhan di mana saat mereka dalam kemiskinan seperti itu? Apa Tuhan tidak berani bersuara?


Dalam perjalanan permenungan saya tentang kasih Tuhan ini, saya sempat putus asa. Mengapa? Saya merasa “gagal” dalam melihat pernyataan kasih Tuhan dalam peristiwa-peristiwa ini. So, ujung-ujungnya panggilan saya kering. Nelangsa kata orang Jawa.
Sampailah saya pada suatu percakapan kecil dengan seorang buruh bangunan pada saat saya menjadi seorang buruh juga beberapa bulan yang lalu. Percakapan ini terjadi dalam bahasa Jawa, yang (ajegile!) saya hampir tidak nyambung dalam banyak hal. Saya, seorang amatiran dalam berbahasa Jawa, melawan bapak ini, yang professional dalam berbahasa Jawa. Jadilah ini sebuah percakapan yang benar-benar aneh (setidaknya bagi saya).


Lepas dari keanehan itu, ada satu pesan yang menggema di hati saya (terjemahan kasarnya seperti ini):


Mas, jadi orang melarat kayak saya ini nggak susah mas. Kelihatannya saja saya miskin. Memang kalau dilihat dari uangnya, saya tidak punya. Tapi, saya ini percaya sama Gusti Allah. Mas lihat sendiri. Sampai hari ini saya bisa hidup. Selalu Gusti Allah memberi saya makan lewat orang-orang yang perlu dengan tenaga saya. Tidaklah besar uangnya mas. Tapi cukup untuk saya melanjutkan hidup. Itulah rahasia Gusti Allah yang saya sebagai wong cilik (orang kecil) ini tidak mengerti mas.

Akhirnya saya tersadar. Kasih Allah itu aktual para saudara! (Hehehe… Kayak khotbah). Iya, kasih Allah itu masih nyata untuk manusia saat ini. Di balik segala penderitaan, Tuhan tetap bekerja. Cara kerja Tuhan ini tampak sejauh kita membuka mata terhadap kisah hidup sehari-hari. Apa sulit? Iya. Memang sulit! Saya sendiri sudah merasakannya. Kalau Anda juga mau melihat, silahkan! Gunakan mata jiwa kita.


Karena itu, pesan penting yang harus kita tanamkan adalah bahwa: kita, manusia, adalah tangan kasih Tuhan untuk dunia saat ini. Ketika kita mulai menyalahkan Tuhan atas kemalangan diri kita dan sesama (juga alam), lihatlah diri kita sendiri. “Jangan tangisi Aku, tetapi tangisilah dirimu…”. Seberapa jauh kita sendiri mau menjadi tangan Tuhan? Kata-kata ini mungkin terdengar biasa bagi kita yang sering menyepelekan iman kita sendiri. Ayo, mulai sekarang, belajarlah untuk mengubah dan mencintai dunia dengan iman kita! Jangan tinggalkan imanmu lagi seperti sampah busuk di pinggir jalan! Jadikan iman sebagai bagian hidup kita lagi. Bila perlu, iman yang menjadi motor untuk berjuang sebagai aktivis, mahasiswa, anggota keluarga, dll. Jangan jadikan “iman literer (hanya sebatas penggunaan ayat-ayat Kitab Suci)” sebagai jalan untuk memusuhi orang lain dan membenarkan diri sendiri. Dan, sesama kita yang belum diperhatikan itu akan merasakan kasih Tuhan yang aktual (nyata) lewat diri kita. Let’s move on!


*Pada akhirnya, malam Minggu saya ini menjadi seperti surat pastoral uskup. Bukan! Saya bukan uskup. Saya hanya ingin bercerita untuk menikmati malam Minggu saya. Syukur kalau ada yang melintas, lalu membaca semburan pengalaman saya ini. Hehehe…

0 komentar
 
The Ngawan © 2014 | Birds with the same feather flock together.